AL-NISA’/4:4
SEPUTAR MAHAR
“Berikanlah mahar
perempuan-perempuan itu”, perintah memberikan dengan ungkapan aatuu,
yang mengandung makna terjadinya pekerjaan antara dua pihak. Hal itu berarti
bahwa mahar wajib dibayar suami dan harus sampai dan diterima isteri, tidak
boleh ditahan atau dikurangi, misalnya, oleh wali.
Diungkapkannya mahar dengan kata shaduqaat,
bukan “mahr” ‘mahar’, yang diderivasi dari kata dasar shidq
‘benar’, mengandung arti bahwa mahar itu merupakan bukti kebenaran cinta suami
dan kebenaran keinginan dan kemampuannya bertanggung jawab. Mahar karena itu
seharusnya sesuatu yang berharga, biasanya berupa logam mulia, sebagaimana
dicontohkan Nabi Muhammad saw. Mahar dalam bentuk logam mulia juga mengandung
arti keabadian cinta, sebagaimana tidak lunturnya logam mulia tsb. (Mahar hanya
dalam bentuk seperangkat alat salat dinilai terlalu menyederhanakan lembaga
perkawinan).
“Sebagai pemberiasn tulus (nihlah)”.
Nihlah dari nahl ‘lebah’ yang mempersembahkan madu: intisari berbagai
bunga dan buah yang diambilnya tanpa merusaknya, steril, dan bermanfaat bagi
manusia. Mahar hendaknya seperti itu pula: hasil jerih payah suami, bersih bukan
hasil korupsi, dan bermanfaat bagi sang isteri. Mahar juga hendaknya diberikan
dari lubuk hati yang suci dari suami.
“Jika mereka berbaik hati
memberikan sebagiannya, makanlah dengan enak dan sedap!” Bila isteri dengan
sukarela mau memberikan sebagian mahar kepada suami, itu dibolehkan (halal),
dan nikmatilah tanpa ragu (Salman Harun).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar