Kamis, 28 Januari 2010

APA MAKSUDNYA ALLAH MEMBERI MANUSIA REZEKI
DARI LANGIT DAN BUMI?
Oleh

Prof. Dr. H. Salman Harun


Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
 ••                       
3. Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? tidak ada Tuhan selain Dia; Maka mengapakah kalian mengada-ada (mengenai Allah)? (35:3)

Dari ayat itu yang akan menjadi focus perhatian kita adalah masalah bahwa Allah memberi trezeki manusia melalui dua sumber: dari langit dan dari bumi. Bagaimanakah caranya? Namun terlebih dahulu perlu dijelaskan apakah rezeki itu.

Rezeki

Rezeki itu bentuknya bermacam-macam:

1. Rezeki yang paling pokok (primer) dari yang paling pokok adalah makanan. Allah berfirman:
            •  
32. Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, lalu Ia keluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan sebagai rezki bagi kalian (14:32)

2. Pemberian (al-’atha’) dari Allah pada umumnya, yang berarti apa saja yang baik yang berguna bagi manusia, seperti dipahami dari firman Allah (2:254):
                      
254. Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang Telah kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at, dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.

Rezeki di sini bisa berupa harta, kesehatan, jabatan, ilmu, dsb. Dan berinfak atau membantu itu tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk tenaga, pemikiran, perhatian, dsb.

3. Perolehan (al-nashib), misalnya firman Allah (2:3):
        
3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka.


Manusia perlu mengeluarkan sebagian perolehan atau pendapatannya untuk menolong yang memerlukan.

4. Hujan, yang dinyatakan misalnya dalam firman-Nya (51:22):
     
22. Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.

Hujan menyuburkan tanah, dari tanah yang subur manusia bisa memperoleh berbagai produk antara lain untuk makanan dan berbagai macam keperluan mereka lainnya.

Kembali kepada persoalan bagaimana cara Allah memberikan rezeki kepada manusia, maka walaupun Allah mendahulukan penyebutan langit dalam ayat yang dikutip pada awal tulisan ini, karena masalah langit itu masih gelap bagi kita, maka kita membicarakan terlebih dahulu mengenai persoalan pemberian rezeki oleh Allah dari bumi.

Bentuk-bentuk Pemberian Rezeki Melalui Bumi

Dalam Al-Qur’an diinformasikan paling kurang tiga bentuk usaha Allah untuk memberikan kesejahteraan bagi manusia dari sumber-sumber yang ada di bumi:

1. Menciptakan
Allah berfirman:
    •                
29. Dia-lah Allah, yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kalian dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu (2:29).

Kata kunci di sini adalah khalaqa ‘menciptakan’. Semua yang Allah ciptakan di ala mini adalah untuk kepentingan manusia. Memang hewan, misalnya, memakan tumbuh-tumbuhan, atau memangsa hewan lain, yang berarti menikmati pula makanan yang disediakan Allah. Tetapi sesungguhnya muara semuanya itu untuk kepentingan manusia. Bila hewan sehat karena memakan umbuh-tumbuhan, itu adalah untuk kepentingan manusia jua. Begitu juga bila hewan memangsa hewan lain, sehingga pepulasi hewan tertentu tidak melampaui batas, misalnya, itu adalah juga untuk kepentingan manusia. Itu adalah rezeki.

2. Memudahkan
Allah berfirman:
            •                         •                   
32. Allah-lah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, Kemudian dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan dia Telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.
33. Dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan Telah menundukkan bagimu malam dan siang.
34. Dan dia Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah) (14:32-34).

Kata kunci menenai masalah ini adalah sakhkhara ‘memudahkan’ untuk diambl manfaatnya. Allah memudahkan ilmu perkapalan untuk melancarkan perhubungan yang akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi kesjahteraan manusia. Alah juga memudahkan pemanfaatan sungai misalnya untuk pengairan, dsb. Allah memudahkan pemanfaatan matahari, cahayanya misalnya untuk penerangan dan sumber energi. Begitu juga memudahkan pemanfaatan bulan dengan pemanfaatan pasang naik dan surut yang ditimbulkannya. Dan juga Alah memudahkan manusia untuk memanfaatkan malam dan siang, misalnya malam untuk istirahat dan siang untuk bekerja. Semuanya itu bermanfaat untuk kesejahteraan manusia. itu adalah rezeki.

3. Menyediakan
Allah berfirman:
              •          
22. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu Mengetahui (2:22).

Kata kuncinya di sini adalah ja’ala ‘menjadikan’, ‘menyediakan’. Bumi didesain Allah layak dihuni, langit memberikan daya dukung, dan khusus untuk menyuburkannya Allah menurunkan hujan, lalu tumbuhlah tumbuh-tumbuhan yang memberi manusia buah-buahan, dan itulah yang merupakan rezeki bagi manusia. Jadi, rezeki itu adalah bahan-bahan makanan, dan memang bahan makanan manusia umumnya adalah buah-buahan, seperti padi, gandum, dan jagung.

Jadi, Allah menciptakan, memudahkan, dan menyediakan keperluan manusia untuk hidup di bumi ini. Itulah bentuk rezeki yang diberikan Allah kepada manusia. Jadi rezeki itu tidak instan. Karena tidak instan maka manusia mempunyai kewajiban mencari sumber-sumber kehidupan itu.

Kewajiban Manusia

1. Mencari sumber-sumber kehidupan itu (eksplorasi).
Allah memerintahkan:
                             
17. Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu; Maka carilah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kalian akan dikembalikan (29:17).

Tidak hanya rezeki, tetapi juga lebih dari rezeki, yaitu karunia-Nya, perlu dicari:
               
10. Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

Karunia-Nya itu berupa apa saja, baik berupa kebutuhan primer, sekunder, atau tertier. Kebutuhan primer adalah semua kebutuhan yang kalau tidak terpenuhi anusia mati, seperti kebutuhan akan makanan, pakaian, dan perumahan. Allah meminta agar kebutuhan primer itu terpenuhi, dan bila tidak terpenuhi Allah meminta manusia menolong orang itu (mialnya 2:177). Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang diperlukan manusia untuk meningkatkan harakat hidupnya, misalnya pendidikan. Allah sendiri mengajari manusia (misalnya 55:2-4), manusia harus memperoleh pendidikan dan pengajaran (misalnya 18:66). Dan kebutuhan tertier adalah untuk kesenangan hidup. Ini juga boleh dipenuhi manusia (misalnya 7:26).

2. Mengeksploitasi sumber-sumber kehidupan:
Sumber-sumber kehidupan di bumi terdapat di permukaan bumi dan di dalamnya, dan tersedia di daratan dan di lautan. Sumber-sumber itu tersedia begitu rupa yang relatif mudah diekploitasi. Karena itulah manusia perlu mengeksploitasinya untuk keperluan hidupnya:

Demikianlah cara Allah memberi kita rezeki dari bumi, yaitu Allah menciptakan dan menyediakan bahan-bahan makanan itu di bumi, dan manusia perlu mengeksplorasi dan mengeksploitasi bumi ini utuk memperoleh rezeki tsb.

Pemberian Rezeki Melalui Langit

Sekarang kita masuk kepada masalah pemberian rezeki melalui langit. Bagaimanakah cara Allah memberi rezeki manusia dari langit? Bila pemberian rezeki melalui bumi dilakukan Allah dengan cara menciptakan, memudahkan, dan menyediakan sumber-sumber kehidupan, dan menusia perlu mengeksplorasi dan megekploitasinya, maka tentu demikian juga cara pemberian rezeki melalui langit..Namun terlebih dahulu, apakah “langit” itu?

Langit

Sesuai asal katanya, yaitu sama - yasmu, yang berarti ‘tinggi’, ‘atas’, berarti langit adalah segala yang di atas. Apa saja yang di atas itu? Alam semesta! Berapa isi alam semesta? 100 milyar galaksi, satu galaksi 100 milyar tatasurya, satu tata surya 8 planit, dan satu planit ada 1 atau lebih satelit (bulan). Jadi, langit adalah alam semesta (universe). Dalam alam semesta terdapat 100 M x 100 M tatasurya. Satu tatasurya memiliki 8 planit, planit ketiga adalah bumi. Berarti bahwa banyaknya bumi dalam alam semesta adalah 100 M x 100 M pula.

Al-Qur’an menyatakan bahwa langit itu tidak satu tetapi “tujuh” (misalnya 2:29). Bila “tujuh” itu adalah enam tambah satu, berarti alam semesta itu terbatas banyaknya, dan berarti Allah terbatas kemahakuasaan-Nya. Allah tidak mungkin terbatas, oleh karena itu “tujuh” itu tidak tepat diartikan enam tambah satu itu.

Dalam bahasa Arab “tujuh” dungkapkan untuk menunjukkan makna “banyak sekali” yang tidak terbatas. Dalam bahasa Indonesia juga demikian, sehingga kita biasa mendengar ungkapan, “Saya pusing tujuh keliling”, atau, “Ia menimbun kekayaan sampai tujuh turunan.” Tentu saja pusingnya bukan tujuh keliling tetapi pusing sekali, dan kekayaannya bukan sebanyak keperluan tujuh turunan tetapi juga banyak sekali. Begitu pulalah lebih tepat pemaknaan kata “tujuh” dalam ayat itu. Jadi alam semesta itu tak terhitung banyaknya, banyak sekali. Dengan demikian begitu pulalah banyaknya bumi, sebanyak system tatasuryanya, banyak sekali, tidak terhitung.

Apa yang saya pahami dari Al-Qur’an itu, bahwa alam semesta itu banyak sekali, begitu pula buminya, mendapat titik terang penyelesaian masalahnya, dari tulisan dalam sebuah koran terkemuka ibukota (Kompas, 3-1-2010, hal. 23) yang melaporkan seorang dosen ITB menulis disertasinya di University of Texas, Austin, 1996, berjudul, The Study of Light Propagation in Inhomogeneous Universes Using the Gravitational Lensing Method, yang saya terjemahkan, “Studi Pemekaran Cahaya dalam Alam-alam Semesta yang Berlainan Menggunakan Metode Pelensaan Gravitasional”. Jadi obyek studi dosen ini adalah universes, alam-alam semesta yang bermacam ragam. Jelaslah bahwa alam semesta itu tidak satu, tetaoi banyak sekali, dan tidak sama satu dengan yang lainnya.

Pemberian Rezeki dari Langit

Bagaimanakah cara Allah memberi rezeki dari langit? Allah tentu telah menciptakan, memudahkan, dan menyediakan sumber-sumber rezeki di langit ini, yaitu di ruang angkasa ini. Jadi yang bernilai ekonomi itu tidak hanya sumber-sumber yang ada di bumi, tetapi juga sumber-sumber yang ada di ruang angkasa.

Ambillah sebuah contoh yang mudah, yaitu daerah teritorial satu negara, itu bernilai ekonomi. Saya yakin bahwa pesawat komersial, misalnya, pasti memberi kompensasi tertentu kepada negara itu bila pesawat tersebut melewati daerah territorial angkasa negara.tsb.

Sekarang ternyata berbisnis itu tidak mesti harus punya toko atau datang ke toko atau kantor. Berbisnis sekarang dapat dilakukan dari rumah, yaitu melalui internet. Penjual bisa membuat wib-site, blog, dan masuk ke jejaring sosial seperti facebook, misalnya. Konsumen dapat memesan produk yang kita punyai melalui internet itu, lalu barangnya ia kirim melalui pos, dan pembayarannya pun masuk ke akunnya melalui internet.

Juga dalam zaman post-modern ini kita sudah menyaksikan dan mengalami bahwa ada lapisan tertentu atmosfir itu yang bisa digunakan untuk penempatan satelit, di antaranya satelit komunikasi. Kita misalnya membeli satelit yang kita beri nama Palapa dari Amerika Serikat. Dengan demikian lapisan-lapisan angkasa itu juga bernilai ekonomi. Karena kita belum mampu membuat sendiri satelit itu, kita membelinya. Itu berarti pemasukan bagi yang membuatnya, memberi lapangan kerja bagi warga negaranya, dan memberi keuntungan yang tidak sedikit bagi negaranya. Itulah juga bentuk rezeki yang diberikan Allah melalui langit.

Sekarang negara-negara maju sedang melakukan eksplorasi dan riset besar-besaran mengenai ruang angkasa. Mereka melakukan penerbangan ke angkasa luar dengan pesawat misalnya Challenger dan Soyuz. Masih beberapa hari yang lalu kita membaca dalam sebuah surat kabar terkemuka ibu kota itu juga, dan diperlihatkan gambarnya, bahwa NASA sedang memasang telemeter (tele = jauh, jadi alat untuk mengukur jarak jauh), ke dalam pesawat ruang angkasa yang siap luncur, dan menyatakan bahwa dalam empat atau lima tahun mendatang mereka akan menemukan sebuah bumi baru di luar sistem tatasurya kita.

Pernyataan itu tidak aneh menurut pemberitaan Al-Qur’an. Sebagaimana sudah kita jelaskan bahwa isi alam semesta itu 100 M galaksi x 100 M tatasurya, yang berarti bahwa banyak bumi itu diperkirakan sebanyak itu pula (100 M x 100 M), karena satu tatasurya itu memiliki planit-planit di antaranya bumi. Jadi bumi itu sangat banyak.

Kemungkinan ada di antara bumi-bumi itu yang dihuni makhluk berakal seperti manusia, sebagaimana diisyaratkannya dalam 10:66:
                           
66. Ingatlah, Sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi. dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu keyakinan). mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan mereka hanyalah menduga-duga.

Kata man ‘siapa’ menunjuk sesuatu yang berakal. Bila ada yang tidak berpenghuni, manusia tentu saja bisa pindah ke sana.

Bumi dalam Bahaya

Hal itu di antaranya akibat pemanasan global. Buangan asap dan CO2 yang diproduksi manusia melalui pabrik, mobil, pembakaran hutan, dan lainnya telah menutup bumi, sehingga panas bumi tidak bisa lepas ke alam raya, sehingga bumi ini ibarat rumah kaca. Terjadilah pemanasan global, yang akan mengakibatkan es di kutub dan gunung-gunung yang sangat tinggi mencair, sehingga permukaan laut akan naik. Para ahli memperkirakan bila air laut ini naik 2 merter saja dari sekarang, maka 42 negara kepulauan akan tenggelam, termasuk sebagian Indioesia. Para kepala negara atau pemerintahan telah mengadakan konferensi di Kopenhagen, Denmark untuk mencari jalan keluarnya. Tetapi terutama negara-negara besar tidak mau mengurangi produksi emesi meraka, karena dengan demikian banyak pabrik-pabrik perlu dikurangi yang akan mengakibatkan penganguran akan bertambah dan kesejahteraan akan berkurang. Seorang kepala negara sampai menangis di forum yang agung itu untuk meminta belas kasihan , tetapi negara-negara itu tidak ambil perduli. Jadi, bumi dalam bahaya.

Belum lagi masalah nuklir. Sekarang engara-negara berkembang ingin juga punya nuklir. Mereka beralasan, mengapa nuklir hanya dimonopoli oleh negara-negara besar? Di samping itu negara-negara besar itu sendiri tidak mau mengurangi apalagi memusnahkan senjata nuklir mereka, supaya adil. Nah, kalau banyak nengara memiliki nuklir, lalu ada kepala negara yang kurang mampu mengontrol emosinya, maka bahaya nuklir itu tidak terelakkan, bumi jelas semakin terancam.

Pindah ke Bumi Lain

Bumi terancam, sedangkan bumi-bumi lain tersedia yang tidak terperkirakan banyaknya. Bila demikian, mengapa tidak pindah saja ke bumi-bumi lain itu? Mengapa alam kosmos atau semesta ini tidak dieksplorasi dan dieksploitasi untuk kesejahteraan umat manusia, sebagaimana manusia sudah mengekplorasi dan mengeksploitasi bumi habis-habisan?.

Ada bermilyar-milyar banyaknya bumi sebagaimana dipahami dari Al-Qur’an, Dan perpindahan ke bumi-bumi lain itu tidak mustahil sesuai kemajuan ilmu pengetahuan. Pada tanggal 11-1-10 Kompas menurunkan foto pemuatan fotometer Kapler ciptaan NASA ke wahana ruang angkasa untuk diterbangkan, dan mereka memperkirakan bahwa dalam empat atau lima tahun mendatang mereka akan menemukan bumi baru. Walaupun itu baru penemuan melalui pesawat tidak berawak, pada suatu saat manusia kemungkinan besar sudah bisa mengharungi angkasa luar dan menginjakkan kaki di bumi baru. Peristiwa itu tentu akan menjadi peristiwa amat spektakuler dibanding penemuan benua Amerika oleh Columbus.

Jadi jelas bahwa langit itu memiliki nilai dan prosepek ekonomi yang sangat besar. Itulah bentuk lain pemberian rezeki oleh Allah melalui langit.


Jakarta, 29-1-10
Penulis,

Prof. Dr. H. Salman Harun
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta