Sabtu, 23 Juni 2012

AL-NISA’/4:5 WARISAN ANAK YATIM WAJIB DISERAHKAN


AL-NISA’/4:5
WARISAN ANAK YATIM WAJIB DISERAHKAN

Anak yatim perlu dilindungi, antara lain dengan menjaga warisannya dengan baik dan menyerahkannya kepadanya waktu ia dewasa (ayat 2). Harta itu dilarang diserahkan bila anak itu belum dewasa, karena ia pasti belum mengerti cara mengelola keuangan. Dinyatakan dengan “harta kalian” pada hal harta itu adalah harta anak yatim, adalah untuk menunjukkan bahwa kekayaan itu (sumber daya pada umumnya) harus bermanfaat untuk masyarakat. Sumber daya itu tiang kehidupan (qiyam) karena itu jangan dibuat percuma (tidak boleh ditimbun, dimonopoli, tetapi mengalir dengan diinvestasikan). Anak yatim dibiayai (pangan, sandang, dsb.) dari “dalam” harta mereka, yaitu dari keuntungannya. Berarti harta anak yatim itu perlu diinvestasikan. Modal mereka jangan tergerus kebutuhan dan inflasi. “Ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik” maksudnya perlakukan anak yatim dengan baik (Salman Harun).

AL-NISA’/4:4 SEPUTAR MAHAR

AL-NISA’/4:4
SEPUTAR MAHAR

“Berikanlah mahar perempuan-perempuan itu”, perintah memberikan dengan ungkapan aatuu, yang mengandung makna terjadinya pekerjaan antara dua pihak. Hal itu berarti bahwa mahar wajib dibayar suami dan harus sampai dan diterima isteri, tidak boleh ditahan atau dikurangi, misalnya, oleh wali.
Diungkapkannya mahar dengan kata shaduqaat, bukan “mahr” ‘mahar’, yang diderivasi dari kata dasar shidq ‘benar’, mengandung arti bahwa mahar itu merupakan bukti kebenaran cinta suami dan kebenaran keinginan dan kemampuannya bertanggung jawab. Mahar karena itu seharusnya sesuatu yang berharga, biasanya berupa logam mulia, sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad saw. Mahar dalam bentuk logam mulia juga mengandung arti keabadian cinta, sebagaimana tidak lunturnya logam mulia tsb. (Mahar hanya dalam bentuk seperangkat alat salat dinilai terlalu menyederhanakan lembaga perkawinan).
“Sebagai pemberiasn tulus (nihlah)”. Nihlah dari nahl ‘lebah’ yang mempersembahkan madu: intisari berbagai bunga dan buah yang diambilnya tanpa merusaknya, steril, dan bermanfaat bagi manusia. Mahar hendaknya seperti itu pula: hasil jerih payah suami, bersih bukan hasil korupsi, dan bermanfaat bagi sang isteri. Mahar juga hendaknya diberikan dari lubuk hati yang suci dari suami.
“Jika mereka berbaik hati memberikan sebagiannya, makanlah dengan enak dan sedap!” Bila isteri dengan sukarela mau memberikan sebagian mahar kepada suami, itu dibolehkan (halal), dan nikmatilah tanpa ragu (Salman Harun).


Selasa, 19 Juni 2012

NISA’/3 HAK SOSIAL PEREMPUAN


AL-NISA’/3
HAK SOSIAL PEREMPUAN

            “Jika kalian khawatir tidak bisa memperlakukan secara setara anak yatim (dengan perempuan biasa), maka nikahilah apa yang baik bagi kalian pada perempuan, dua, tiga, dan empat”. Tuqshithu (masdar: iqshath) adalah membuat neraca timbangan setara antara yang kiri dan yang kanan. Berarti anak perempuan yatim perlu diperlakukan setara dengan perempuan biasa bila ingin dinikahi: mereka harus juga diberi mahar dan nafkah yang layak. Bila tidak mampu memperlakukan setara seperti itu, lebih baik tidak mengawini mereka. Mereka yang melanggarnya akan berdosa besar.  
            Daripada mengawini anak perempuan yatim secara tidak layak, yang dosanya lebih besar, lebih kecil kemungkinan mendapat dosa mengawini perempuan biasa lebih dari seorang (poligami) secara biasa pula, yaitu dengan memberi mahar dan nafkah yang cukup. Dan perlu diingat bahwa yang dikawini itu adalah ma ‘apa’ yang baik yang ada pada perempuan itu, yaitu iman dan akhlaknya, bukan “siapa” perempuan itu, seperti apakah ia bangsawan, berpangkat, kaya, dsb.
“Bila kalian khawatir tidak bisa bersikap adil, maka seorang saja”. Syarat boleh memiliki isteri lebih dari seorang adalah kemampuan memperlakukan isteri-isteri itu secara adil. “Adil” adalah memberikan hak sesuai kebutuhan. Bila laki-laki merasa tidak mampu mencukupkan kebutuhan isteri kedua, ia tidak dibenarkan menambah isterinya.
“Itu lebih dekat untuk tidak aniaya”. Bila ia tidak mampu lalu menambah isteri juga, orang itu berarti telah melakukan kezaliman. Zalim berarti melakukan dosa besar. Demikianlah hak sosial perempuan: nafkah yang cukup, dan hak sosial perempuan yatim: kesetaraan dengan perempuan biasa (Salman Harun)

NISA' 2: HAK-HAK MENDASAR ANAK YATIM


AL-NISA’/4:2
HAK-HAK MENDASAR ANAK YATIM

Ditegaskannya hak-hak anak yatim langsung setelah ayat pertama mengandung arti bahwa hubungan darah dan kemanusiaan yang paling pertama dan utama yang perlu dijaga adalah penjagaan hak-hak anak yatim.
“Berikan kepada anak-anak yatim itu harta mereka”, perintah Allah kepada wali agar menyerahkan kepada anak yatim yang diasuhnya warisan orang tua mereka yang ia kelola.
“Jangan kalian tukar yang buruk dengan yang baik”, misalnya milik kita yang buruk kita serahkan kepada anak yatim itu, dan milik (warisan) anak yatim yang baik kita ambil sebagai tukarannya.
“Dan jangan kalian makan harta mereka ke dalam harta kalian”. Ini bentuk akal-akal lain: supaya tidak kentara, kekayaan anak yatim kita masukkan ke dalam kekayaan kita, lalu kita nikmati, untuk mengesankan bahwa kita hanya memakan kekayaan kita sendiri.
“Itu adalah dosa besar”. Jangan akal-akalan (menipu), Allah tidak bisa diakalakali. Memakan hak anak yatim berdosa besar. (Salman Harun)

NISA' 1: KESATUAN UMAT MANUSIA


AL-NISA’/4:1
KESATUAN UMAT MANUSIA

“Wahai manusia takwailah Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu” maksudnya sadarilah bahwa manusia itu berasal dari satu nenek moyang, karena itu jangan berpecah belah apalagi bermusuh-musuhan. Bila diindahkan Ia akan imbali, bila tidak diindahkan Ia jatuhkan sanksi.
            “Dan Ia ciptakan darinya belahan”, maksudnya isterinya. Isteri adalah belahan suami dan suami adalah belahan isteri, karena itu perlu saling menjaga sebagaimana ia menjaga dirinya sendiri. Seorang laki-laki atau seorang perempuan belum akan sempurna tanpa belahannya dan tidak akan dapat menjalankan fungsinya secara maksimal tanpa pasangannya.
Isterinya itu bernama Hawwa’ yang menurut hadis diciptakan Allah dari tulang rusuk Adam. Banyak orang salah paham, di antaranya kaum feminis, bahwa bila Hawwa’ dari tulang rusuk Adam berarti perempuan lebih rendah (subordinate) dari laki-laki, pada hal yang diciptakan dari tulang rusuk hanyalah Hawwa’ itu, selanjutnya anak cucuk Adam dan Hawwa’ diciptakan dari sperma dan ovum (Q. 23:12). Dalam Islam laki-laki dan perempuan setara (Q. 4:32).
“Dan Ia kembangbiakkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak”. Manusia terus berkembang biak menjadi berbagai ras, bangsa, dan suku. Populasi manusia di bumi ini sekarang diperkirakan sekitar 18 milyar jiwa.
“Takwailah Allah yang kalian saling meminta kepada-Nya, begitu juga rahim”. Menakwai Allah adalah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Manusia pasti membutuhkan Tuhan, tetapi mengapa sebagian mereka tetap membangkang kepada-Nya? Yang perlu dijaga pula adalah hubungan darah (shilaturrahim) dari yang terdekat sampai yang paling jauh jauh, dan hubungan persahabatan (shilaturrahmi).
“Allah sungguh Maha Mengawasi kalian”. Allah mengetahui kebutuhan kita sehingga Ia akan beri bila kita berusaha dan meminta. Tetapi Allah juga mengamati kita: segala perbuatan kita, di antaranya apakah kita menjaga hubungan darah dan persahabatan, pasti diketahui-Nya dan dicatat para petugas-Nya untuk diimbali atau diganjari. Dengan memelihara hubungan darah dan persahabatan itulah akan terwujud kesatuan umat manusia. (Salman Harun)

SURAH AL-NISA': SURAH PEMERSATU


SURAH AL-NISA’:
SURAH PEMERSATU

            Akhir Surah al-Fatihah menginformasikan adanya tiga golongan manusia: mereka yang Allah beri nikmat-Nya, mereka yang Ia murkai, dan mereka yang sesat.
            “Mereka yang Ia beri nikmat” adalah mereka yang beriman, yaitu mengikuti Nabi Muhammad saw, dan mereka selalu disinggung dalam semua surah.
            “Mereka yang dimurkai” adalah mereka diceritakan dalam peristiwa “sapi betina” yang menjadi latar belakang dinamainya surah itu Surah al-Baqarah. Ya, ada orang terbunuh. Untuk mengetahui siapa pembunuhnya, orang itu perlu dihidupkan sebentar untuk menceritakan peristiwa. Nabi Musa a.s meminta Bani Israil untuk mencari seekor sapi betina. Bani Israil enggan, lalu bertanya bagaimana status sapi itu apakah sudah pernah campur ataukah masih perawan, apa warnanya, bagaimana kondisinya apakah pernah dipekerjakan atau belum, dsb. Hal itu menandakan bahwa Bani Israil itu bersifat pembantah dan banyak helah. Begitu pulalah sikap mereka terhadap Nabi Muhammad saw.
            “Mereka yang sesat” dapat dipahami dari dinamakannya surah ketiga Surah Al ‘Imran. ‘Imran bernazar jika anaknya laki-laki, akan ia persembahkan untuk mengabdikan diri pada rumah ibadah. Ternyata yang lahir perempuan, ia beri nama Maryam. Rupanya, sekalipun tidak mengabulkan doanya untuk diberi anak laki-laki, Allah sudah mempunyai skenario besar, yaitu lahirnya seorang Rasul besar dari rahimnya, tanpa ayah. Kaum Nasrani memandang, karena lahirnya tanpa ayah itu, bahwa ia adalah putra Tuhan. Nabi Muhammad saw datang menjelaskan bahwa ia bukan putra Tuhan, Tuhan itu tidak mungkin punya isteri atau putra, dan peristiwa itu hanyalah untuk menunjukkan bahwa Tuhan itu Mahakuasa. Bagaimana pun Nabi Muhammad saw menjelaskannya, sehingga diterangkan ibu dan kakek-neneknya, bahkan pengasuh (Nabi Zakariya) dan teman sebayanya (Yahya), mereka tetap bergeming mengatakan bahwa Nabi Isa itu anak Tuhan.
            Dua peristiwa itulah yang menjadi akar konflik di dunia sampai sekarang: adanya sikap tidak mau percaya dan banyak helah sehingga karena itu dimurkai (al-maghdhub) serta kesalahpahaman (al-dhallin). Kedua sikap itu kemudian menjadi aliran: Yahudi dan Nasrani, yang meneruskan konflik itu menentang seruan Nabi Muhammad saw. Untuk menetralisir konflik itulah kiranya Allah menurunkan Surah al-Nisa’. Nisa’ artinya ‘perempuan, ia punya rahim. Allah mengingatkan manusia bahwa mereka datang dari rahim yang satu, yaitu Hawa, dan dari ayah yang satu yaitu Adam (Salman Harun)