Institute Islam terutama tentang Al-Qur'an dan tafsir. Jln. Ibnu Sina I/25 Kompleks UIN Ciputat, Tangerang, Banten, Indonesia, 15419. Email: salmanhar2000@yahoo.com
Anak yatim perlu dilindungi,
antara lain dengan menjaga warisannya dengan baik dan menyerahkannya kepadanya
waktu ia dewasa (ayat 2). Harta itu dilarang diserahkan bila anak itu belum
dewasa, karena ia pasti belum mengerti cara mengelola keuangan. Dinyatakan dengan
“harta kalian” pada hal harta itu adalah harta anak yatim, adalah untuk
menunjukkan bahwa kekayaan itu (sumber daya pada umumnya) harus bermanfaat untuk
masyarakat. Sumber daya itu tiang kehidupan (qiyam) karena itu jangan
dibuat percuma (tidak boleh ditimbun, dimonopoli, tetapi mengalir dengan diinvestasikan).
Anak yatim dibiayai (pangan, sandang, dsb.) dari “dalam” harta mereka, yaitu dari
keuntungannya. Berarti harta anak yatim itu perlu diinvestasikan. Modal mereka
jangan tergerus kebutuhan dan inflasi. “Ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang
baik” maksudnya perlakukan anak yatim dengan baik (Salman Harun).
“Berikanlah mahar
perempuan-perempuan itu”, perintah memberikan dengan ungkapan aatuu,
yang mengandung makna terjadinya pekerjaan antara dua pihak. Hal itu berarti
bahwa mahar wajib dibayar suami dan harus sampai dan diterima isteri, tidak
boleh ditahan atau dikurangi, misalnya, oleh wali.
Diungkapkannya mahar dengan kata shaduqaat,
bukan “mahr” ‘mahar’, yang diderivasi dari kata dasar shidq
‘benar’, mengandung arti bahwa mahar itu merupakan bukti kebenaran cinta suami
dan kebenaran keinginan dan kemampuannya bertanggung jawab. Mahar karena itu
seharusnya sesuatu yang berharga, biasanya berupa logam mulia, sebagaimana
dicontohkan Nabi Muhammad saw. Mahar dalam bentuk logam mulia juga mengandung
arti keabadian cinta, sebagaimana tidak lunturnya logam mulia tsb. (Mahar hanya
dalam bentuk seperangkat alat salat dinilai terlalu menyederhanakan lembaga
perkawinan).
“Sebagai pemberiasn tulus (nihlah)”.
Nihlah dari nahl ‘lebah’ yang mempersembahkan madu: intisari berbagai
bunga dan buah yang diambilnya tanpa merusaknya, steril, dan bermanfaat bagi
manusia. Mahar hendaknya seperti itu pula: hasil jerih payah suami, bersih bukan
hasil korupsi, dan bermanfaat bagi sang isteri. Mahar juga hendaknya diberikan
dari lubuk hati yang suci dari suami.
“Jika mereka berbaik hati
memberikan sebagiannya, makanlah dengan enak dan sedap!” Bila isteri dengan
sukarela mau memberikan sebagian mahar kepada suami, itu dibolehkan (halal),
dan nikmatilah tanpa ragu (Salman Harun).
“Jika
kalian khawatir tidak bisa memperlakukan secara setara anak yatim (dengan
perempuan biasa), maka nikahilah apa yang baik bagi kalian pada perempuan, dua,
tiga, dan empat”. Tuqshithu (masdar: iqshath) adalah membuat
neraca timbangan setara antara yang kiri dan yang kanan. Berarti anak perempuan
yatim perlu diperlakukan setara dengan perempuan biasa bila ingin dinikahi:
mereka harus juga diberi mahar dan nafkah yang layak. Bila tidak mampu
memperlakukan setara seperti itu, lebih baik tidak mengawini mereka. Mereka
yang melanggarnya akan berdosa besar.
Daripada
mengawini anak perempuan yatim secara tidak layak, yang dosanya lebih besar, lebih kecil kemungkinan mendapat dosa mengawini
perempuan biasa lebih dari seorang (poligami)secara biasa pula, yaitu dengan memberi mahar dan nafkah yang
cukup. Dan perlu diingat bahwa yang dikawini itu adalah ma ‘apa’ yang baik
yang ada pada perempuan itu, yaitu iman dan akhlaknya, bukan “siapa” perempuan
itu, seperti apakah ia bangsawan, berpangkat, kaya, dsb.
“Bila kalian
khawatir tidak bisa bersikap adil, maka seorang saja”. Syarat boleh memiliki
isteri lebih dari seorang adalah kemampuan memperlakukan
isteri-isteri itu secara adil. “Adil” adalah memberikan hak sesuai kebutuhan. Bila
laki-laki merasa tidak mampu mencukupkan kebutuhan isteri kedua, ia tidak
dibenarkan menambah isterinya.
“Itu lebih dekat
untuk tidak aniaya”. Bila ia tidak mampu lalu menambah isteri juga, orang itu
berarti telah melakukan kezaliman. Zalim berarti melakukan dosa besar.
Demikianlah hak sosial perempuan: nafkah yang cukup, dan hak sosial perempuan
yatim: kesetaraan dengan perempuan biasa (Salman Harun)
Ditegaskannya
hak-hak anak yatim langsung setelah ayat pertama mengandung arti bahwa hubungan
darah dan kemanusiaan yang paling pertama dan utama yang perlu dijaga adalah
penjagaan hak-hak anak yatim.
“Berikan kepada
anak-anak yatim itu harta mereka”, perintah Allah kepada wali agar menyerahkan
kepada anak yatim yang diasuhnya warisan orang tua mereka yang ia kelola.
“Jangan kalian
tukar yang buruk dengan yang baik”, misalnya milik kita yang buruk kita
serahkan kepada anak yatim itu, dan milik (warisan) anak yatim yang baik kita
ambil sebagai tukarannya.
“Dan jangan
kalian makan harta mereka ke dalam harta kalian”. Ini bentuk akal-akal lain:
supaya tidak kentara, kekayaan anak yatim kita masukkan ke dalam kekayaan kita,
lalu kita nikmati, untuk mengesankan bahwa kita hanya memakan kekayaan kita
sendiri.
“Itu adalah dosa
besar”. Jangan akal-akalan (menipu), Allah tidak bisa diakalakali. Memakan hak
anak yatim berdosa besar. (Salman Harun)
“Wahai manusia
takwailah Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu”
maksudnya sadarilah bahwa manusia itu berasal dari satu nenek moyang, karena
itu jangan berpecah belah apalagi bermusuh-musuhan. Bila diindahkan Ia akan
imbali, bila tidak diindahkan Ia jatuhkan sanksi.
“Dan
Ia ciptakan darinya belahan”, maksudnya isterinya. Isteri adalah belahan suami dan
suami adalah belahan isteri, karena itu perlu saling menjaga sebagaimana ia
menjaga dirinya sendiri. Seorang laki-laki atau seorang perempuan belum akan
sempurna tanpa belahannya dan tidak akan dapat menjalankan fungsinya secara
maksimal tanpa pasangannya.
Isterinya itu
bernama Hawwa’ yang menurut hadis diciptakan Allah dari tulang rusuk Adam. Banyak
orang salah paham, di antaranya kaum feminis, bahwa bila Hawwa’ dari tulang
rusuk Adam berarti perempuan lebih rendah (subordinate) dari laki-laki,
pada hal yang diciptakan dari tulang rusuk hanyalah Hawwa’ itu, selanjutnya
anak cucuk Adam dan Hawwa’ diciptakan dari sperma dan ovum (Q. 23:12). Dalam Islam
laki-laki dan perempuan setara (Q. 4:32).
“Dan Ia
kembangbiakkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak”. Manusia
terus berkembang biak menjadi berbagai ras, bangsa, dan suku. Populasi manusia
di bumi ini sekarang diperkirakan sekitar 18 milyar jiwa.
“Takwailah Allah
yang kalian saling meminta kepada-Nya, begitu juga rahim”. Menakwai Allah
adalah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Manusia pasti
membutuhkan Tuhan, tetapi mengapa sebagian mereka tetap membangkang kepada-Nya?
Yang perlu dijaga pula adalah hubungan darah (shilaturrahim) dari yang
terdekat sampai yang paling jauh jauh, dan hubungan persahabatan (shilaturrahmi).
“Allah sungguh
Maha Mengawasi kalian”. Allah mengetahui kebutuhan kita sehingga Ia akan beri
bila kita berusaha dan meminta. Tetapi Allah juga mengamati kita: segala
perbuatan kita, di antaranya apakah kita menjaga hubungan darah dan
persahabatan, pasti diketahui-Nya dan dicatat para petugas-Nya untuk diimbali
atau diganjari. Dengan memelihara hubungan darah dan persahabatan itulah akan
terwujud kesatuan umat manusia. (Salman Harun)
Akhir
Surah al-Fatihah menginformasikan adanya tiga golongan manusia: mereka yang
Allah beri nikmat-Nya, mereka yang Ia murkai, dan mereka yang sesat.
“Mereka
yang Ia beri nikmat” adalah mereka yang beriman, yaitu mengikuti Nabi Muhammad
saw, dan mereka selalu disinggung dalam semua surah.
“Mereka
yang dimurkai” adalah mereka diceritakan dalam peristiwa “sapi betina” yang menjadi
latar belakang dinamainya surah itu Surah al-Baqarah. Ya, ada orang terbunuh. Untuk
mengetahui siapa pembunuhnya, orang itu perlu dihidupkan sebentar untuk
menceritakan peristiwa. Nabi Musa a.s meminta Bani Israil untuk mencari seekor
sapi betina. Bani Israil enggan, lalu bertanya bagaimana status sapi itu apakah
sudah pernah campur ataukah masih perawan, apa warnanya, bagaimana kondisinya
apakah pernah dipekerjakan atau belum, dsb. Hal itu menandakan bahwa Bani Israil
itu bersifat pembantah dan banyak helah. Begitu pulalah sikap mereka terhadap
Nabi Muhammad saw. “Mereka yang sesat” dapat
dipahami dari dinamakannya surah ketiga Surah Al ‘Imran. ‘Imran bernazar jika
anaknya laki-laki, akan ia persembahkan untuk mengabdikan diri pada rumah
ibadah. Ternyata yang lahir perempuan, ia beri nama Maryam. Rupanya, sekalipun
tidak mengabulkan doanya untuk diberi anak laki-laki, Allah sudah mempunyai skenario
besar, yaitu lahirnya seorang Rasul besar dari rahimnya, tanpa ayah. Kaum
Nasrani memandang, karena lahirnya tanpa ayah itu, bahwa ia adalah putra Tuhan.
Nabi Muhammad saw datang menjelaskan bahwa ia bukan putra Tuhan, Tuhan itu
tidak mungkin punya isteri atau putra, dan peristiwa itu hanyalah untuk
menunjukkan bahwa Tuhan itu Mahakuasa. Bagaimana pun Nabi Muhammad saw
menjelaskannya, sehingga diterangkan ibu dan kakek-neneknya, bahkan pengasuh
(Nabi Zakariya) dan teman sebayanya (Yahya), mereka tetap bergeming mengatakan
bahwa Nabi Isa itu anak Tuhan.
Dua
peristiwa itulah yang menjadi akar konflik di dunia sampai sekarang: adanya
sikap tidak mau percaya dan banyak helah sehingga karena itu dimurkai (al-maghdhub)
serta kesalahpahaman (al-dhallin). Kedua sikap itu kemudian menjadi
aliran: Yahudi dan Nasrani, yang meneruskan konflik itu menentang seruan Nabi
Muhammad saw. Untuk menetralisir konflik itulah kiranya Allah menurunkan Surah
al-Nisa’. Nisa’ artinya ‘perempuan, ia punya rahim. Allah mengingatkan
manusia bahwa mereka datang dari rahim yang satu, yaitu Hawa, dan dari ayah
yang satu yaitu Adam (Salman Harun)