Sabtu, 26 November 2011

MINTA ANAK BERCERAI, BOLEHKAH?

MINTA ANAK BERCERAI, BOLEHKAH?

CUPLIKAN KISAH NABI IBRAHIM ‘ALAIHISSALAM

Karena hubungan antara dua isterinya tak nyaman, Nabi Ibrahim membawa isteri keduanya (Hajar) beserta puteranya (Ismail) jauh ke jantung Jazirah Arab, Makkah. Ada kisah mengenai air Zamzam itu yang begitu populer, yang telah menyebabkan adanya kehidupan di sana. Ismail pun tumbuh di sana dan dewasa.

Ismail menikah dengan seorang perempuan suku asli di sana, Jurhum. Syahdan, Nabi Ibrahim rindu sekali anaknya yang sudah begitu lama ditinggalkannya. Dia pun berangkat ke sana.

Tiba di rumah sang anak, ia tidak menemukan putranya itu. Yang dijumpainya hanya seorang perempuan, yang mengaku isteri anaknya itu. Tetapi Nabi Ibrahim dibiarkan saja oleh sang perempuan.

Di dalam Muhammad Husein Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, hal 26 disebutkan sebagai berikut:

Ibrahim, “Mana suamimu?”

“Ia sedang berburu untuk hidup kami,” jawabnya.

Kemudian ditanya lagi, dapatkah ia menjamu makanan atau minuman, dijawab bahwa ia tidak memiliki apa-apa untuk dihidangkan.

Ibrahim pergi, setelah mengatakan, “Kalau suamimu datang sampaikan salamku dan katakan kepadanya, “Ganti ambang pintumu.”

Setelah pesan ayahnya itu kemudian disampaikan kepada Ismail, ia segera menceraikan isterinya itu, dan kemudian kawin lagi dengan wanita Jurhum lainnya… Wanita ini telah menyambut Ibrahim dengan baik setelah beberapa waktu kemudian ia pernah datang. “Sekarang ambang pintu rumahmu sudah kuat,” kata Ibrahim.

Jadi, tukar ambang pintu maksudnya ceraikan isterimu. Alasan Nabi Nabi Ibrahim boleh jadi sbb.:

1. Sebagai musafir yang begitu jauh berjalan, dan sebagai seorang yang begitu tua, ia seharusnya mendapat perhatian perempuan itu. Itu adalah etika padang pasir (etika Arab), yang diambil alih oleh Islam: tamu harus dihormati. Tidak mungkin segelas air saja ia tidak punya untuk disuguhkan.

2. Dalam Islam, anak perlu berbakti kepada orang tuanya, terutama waktu tua (Q.17:23), dimana orang dalam usia itu memang memerlukan bantuan. Dalam Islam, jangankan harta benda sang anak, diri anak itu sendiri adalah milik orang tuanya, demikian Nabi menegaskan. Jadi, bagaimana mungkin sang menantu boleh kikir kepada mertuanya.

3. Dalam Islam juga ada ajaran bahwa di antara isteri dan anak-anak itu ada yang bisa menjadi musuh bagi orang tuanya, karena itu hati-hati (Q.64:14). Maksud “musuh” di sini bukan seorang yang akan membunuhnya, dsb. tetapi seorang yang bisa membuatnya terjerumus ke dalam dosa karena sayangnya kepada mereka. Betapa tidak jarang seorang isteri meminta ini, itu, dsb., yang karena sayangnya maka suami mau berbuat jahat, mencuri atau korupsi, misalnya, untuk memenuhi permintaan sang isteri. Begitu juga permintaan sang anak!

Jadi, karena tiga alasan itulah kiranya Nabi Ibrahim meminta anaknya, Ismail, bercerai. Pertama, sang menantu mungkin dinilainya sangat pelit, sehingga memberi segelas air saja ia tidak bersedia. Kedua, sang menantu tidak hormat tamu dan orang dalam kesusahan, sedangkan Nabi Ibrahim menilai bahwa perlakukan seperti itu juga akan dilakukannya terhadap dirinya bila ia masih menantunya. Dan ketiga, anak harus berbakti kepada orangtua, sedangkan Nabi Ibrahim menilai sifat sang menantu akan menulari anaknya, yang akan mengakibatkan ia tidak berbakti, lalu karena itu berdosa dan masuk neraka.

Lalu, sahkah meminta anak bercerai?

Ciputat, 22 November 2011

Prof. Dr. Salman Harun