Sabtu, 19 September 2009

TAKBIRAN

TAKBIRAN
Oleh
Prof. Dr. H. Salman Harun
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

Perintah Allah agar umat Islam bertakbir di penutup Ramadhan jelas adanya, yaitu termaktub di ujung Surah al-Baqarah/2:185:


       ••                                        
185. (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakbir mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Hukum bertakbir itu minimal sunat mu’akkad (sunat yang sangat ditekankan).

Di dalam ayat itu tidak diatur di mana takbir itu hendaknya dilaksanakan. Penulis juga belum menemukan informasi dari hadis atau atsar (pendapat sahabat) yang menjelaskan di mana takbir itu seharusnya dilaksanakan.

Yang jelas adalah bahwa salat Ied Fitri (dan Ied Adha) dianjurkan dikerjakan di lapangan. Dalam ritual salat Ied takbir merupakan agenda yang paling utama di samping salat itu sendiri. Adanya anjuran salat Ied di lapangan dengan takbirnya itu menunjukkan bahwa Islam mementingkan pula syiar agama.

Syiar agama adalah gaung keagamaan, bila tidak dapat dikatakan semacam show of forces, ia merupakan show of religiousity. Bukan berarti ria (pamer) dalam beribadat, tetapi kesemarakan yang dapat meningkatkan semangat keagamaan. Dalam hari raya Ied Fitri kesemarakan itu ditunjukkan pula dengan adanya kewajiban membayar zakat fitrah (juga zakat harta bila sudah sampai waktunya). Dan dalam Ied Adha syiar agama itu ditambah dengan penyembelihan hewan kurban yang oleh Allah jelas-jelas dinyatakan sebagai sya’a’ir Allah (syiar-syiar Allah).

Dengan demikian di dalam dua hari raya itu perlu dipertunjukkan kesemarakan beragama. Kesemarakan itu antara lain diperlihatkan dengan mengumandangkan takbir. Takbir dapat dilaksanakan di masjid-masjid. Tetapi dalam rangka menyemarakkan agama itu tidak ditemukan adanya larangan bertakbir di luar masjid. Bila tidak ada larangan berarti hukumnya ja’iz (boleh). Oleh karena itu takbir dapat dilaksanakan di hotel-hotel, pawai-pawai dan arak-arakan di jalan raya, dsb.

Pawai dan arak-arakan bahkan dapat berfungsi sebagai arena pendidikan (dakwah) untuk meningkatkan keimanan terutama bagi remaja. Peningkatan keimanan itu terjadi ketika mereka mengumandangkan takbir secara bersama-sama dalam jumlah besar itu. Takbir yang dikumandangkan berkali-kali itu merupakan latihan (drill). Latihan mengenai sesuatu yang baik akan mendorong orang mudah mengerjakan perbuatan baik dan menjadi orang baik. Bertakbir akan akan menimbulkan rasa memiliki, meningkatkan jiwa keagamaan, memperdalam penghayatan keagamaan, dan akan meningkat pula rasa iman kepada Allah swt.

Hal itu sama misalnya dengan pawai ulang tahun kemerdekaan. Pawai itu dapat meningkatkan rasa kebangsaan di kalangan peserta pawai dan penonton. Juga pawai dalam kemenangan tim sepak bola, bulu tangkis, dsb., yang dapat meningkatkan semangat cinta olah raga dan juga kebangsaan.

Yang menjadi persoalan adalah mengapa takbir dengan kendaraan (konvoi) di Ibu Kota Jakarta ini dilarang? Yang sering dijadikan alasan adalah gangguan kelancaran lalu lintas akibat pawai. Tetapi hal itu sebenarnya dapat diatur baik oleh peserta pawai maupun polisi lalulintas. Kiranya wajar masyarakat menumpahkan kegembiraan mereka dalam bentuk pawai takbir itu –dan karena itu merepotkan petugas- karena telah berhasil menjalankan puasa sebulan penuh, sebagaimana masyarakat menumpahkan kegembiraan mereka dalam bentuk pawai pada ulang tahun kemerdekaan dan kemenangan tim olah raga.

Kalau ada alasan-alasan lain lagi seperti gangguan ketertiban, dsb. semuanya itu adalah ekses bukan substansi. Takbir adalah substansi, karena perintah Allah, dan gangguan ketertiban adalah ekses yang dapat dikendalikan. Pawai ulang tahun kemerdekaan dan olah raga juga menimbulkan ekses, tetapi tidak dilarang, bukan?!

Apa yang terjadi di Ibu Kota dijadikan barometer oleh sebagian daerah-daerah untuk juga tidak mengadakan pawai di jalan-jalan raya, pada hal kondisi lalu lintasnya sangat berbeda. Pawai takbir di jalan raya mengandung pendidikan dan dakwah. Umat tentunya perlu diberi kebebasan, termasuk dalam berekspresi dan berkreasi.


Ciputat, 29 Ramadhan 1430

Sabtu, 25 Juli 2009

HakMelakukanKekerasan

HAK MELAKUKAN KEKERASAN
Oleh Prof. Dr. H. Salman Harun


Surah Ali ‘Imran/3:12 menyatakan:
      •    
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir: "Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka jahannam. dan Itulah tempat yang seburuk-buruknya".

Makna ayat itu jelas, karena kata-katanya tidak ada yang perlu diterangkan, selain sedikit mengenai al-mihad. Secara harfiyah kata itu berarti tempat istirahat, seperti merebahkan badan, menyelonjorkan kaki, dan merentangkan tangan untuk istirahat dari kepenatan yang dirasakan. Dari akar kata itu terbentuk kata al-mahd ‘buayan’, karena merupakan tempat istirahatnya bayi. Jadi, orang kafir begitu malang, ingin istirahat dari kecapaian, tetapi tempatnya justru di neraka (mana mungkin bisa istirahat dalam neraka, dan nerakanya Jahannam lagi yang merupakan neraka terdahsyat).

Makna ayat itu adalah bahwa Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw agar menyatakan kepada mereka yang ingkar, yang tidak mau juga iman kepada Allah dan mengikuti beliau, yaitu kaum musyrik Makkah, bahwa mereka akan dikalahkan di dunia dan di akhirat akan dihalau ke dalam neraka. Jadi pesan ayat itu adalah ancaman.

Rasulullah itu adalah pedoman dan contoh teladan kita. Sebagaimana firman-Nya Surah al-Ahzab/33:21:
                
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

Apa yang diperintahkan kepada Nabi saw berarti juga diperintahkan kepada kita Timbullah pertanyaan, apakah pesan ayat itu menjadi pesan pula bagi kita, dalam arti bahwa kita juga harus mengancam mereka yang bukan muslim, bahwa kita akan memerangi mereka dan mereka akan kalah, dan di akhirat mereka akan masuk neraka.

Bila pesan ayat itu demikian, Islam dengan demikian agama yang tidak benar, karena memerintahkan memerangi sesama manusia, pada hal mereka adalah ciptaan (makhluk) Allah juga. Hal itu tidak masuk akal, karena itu ayat itu perlu ditafsirkan, ilmu tafsir perlu berperan.

Bila pesan ayat adalah mengancam orang bukan muslim, hal itu tentu bertentangan dengan banyak ayat lain dalam Al-Qur’an, di antaranya adalah:

1. Surah al-Baqarah/2:256:
      ••                     
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.

Maksud bagian awal ayat itu adalah bahwa umat Islam tidak boleh memaksakan Islam kepada orang lain. Allah telah memberikan alasannya, yaitu bahwa “Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” Islam itu benar, yang bukan Islam tidak benar. Orang pasti akan memilih yang benar karena fitrah atau kodratnya, tanpa dipaksa. Bila mereka tidak mau juga menerima kebenaran itu tanda ada yang salah pada diri orang itu, yang menyalahi kodratnya. Dalam ayat lain disebutkan bahwa salah satu penyebab manusia tidak mau menerima kebenaran adalah perasaan iri dan benci saja antara sesama mereka (al-Syura/42:14):
                      •         
Dan mereka (ahli Kitab) tidak berpecah belah, kecuali setelah datang pada mereka ilmu pengetahuan, Karena kedengkian di antara mereka. kalau tidaklah Karena sesuatu ketetapan yang Telah ada dari Tuhanmu dahulunya (untuk menangguhkan azab) sampai kepada waktu yang ditentukan, Pastilah mereka Telah dibinasakan. dan Sesungguhnya orang-orang yang diwariskan kepada mereka Al-Kitab (Taurat dan Injil) sesudah mereka, benar-benar berada dalam keraguan yang menggoncangkan tentang Kitab itu.

Mereka sesungguhnya mengakui kebenaran Islam, tetapi perasaan tidak senang mereka menghentikan mereka untuk beriman. Allah bisa membenarkan yang benar dan menghukum yang salah di dunia ini juga, tetapi ketetapan-Nya adalah bahwa Ia mengundurkannya ampai ari Kemudian. Dan i dunia ini yang Allah minta adalah berlomba mempersembahkan kebaikan kepada manusia dan kemanusiaan, sebagaimana firmannya (al-Ma’idah/5:48):
          •                           •                    
48. Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu,

Allah bisa membuat agama itu di dunia ini satu saja, yaitu Islam, tetapi Ia tidak mau melakukan hal itu. Islam harus memperlihatkan kemanfaatannya kepada manusia. Dengan demikian jelas bahwa kekerasan, pemaksaan, dan semacamnya dalam beragama dan menjalankan agama tidak dibolehkan.

2. Surah al-Kafirun/109:6:
    
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

Ayat itu berisi pengakuan terhadap eksistensi agama lain. Sekali lagi, “eksistensi”, bukan kebenaran agama lain itu. Dalam sejarahnya, tidak hanya Adam dan Hawa yang diminta turun ke bumi, tetapi juga Iblis. Berarti yang berhak hidup di bumi ini tidak hanya kebenaran, tetapi juga kejahatan. Jangan bermimpi bahwa kebenaran akan dapat menghancurkan kejahatan sampai hilang sama sekali, karena Iblis dijamin hak hidupnya oleh Allah sampai Hari Kemudian. Di dunia selalu tersedia jalan kebenaran dan jalan kesesatan. Terserah manusia jalan mana yang ia pilih. Oleh karena itulah kekerasan atau pemaksaan kepada manusia untuk mengikuti kehendak tidak dibenarkan dalam Islam.

3. Surah al-Hujurat/49:13:
 ••           •      •   
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Dalam ayat itu dinyatakan bahwa Allah memang menciptakan manusia berbeda-beda. Perbedaan itu bukan untuk menjauhkan manusia satu sama lain, tetapi justru untuk kenal-mengenal. Kenal-mengenal akan memberikan manfaat bagi manusiapada seluruhaspekkehidupan. Kenal-mengenal akan membuat tertarik satu sama lain, timbul persahabatan, bahkan perkawinan. Dari kenal-mengenal timbul keinginan untuk saling memberi, tukar-menukar,dsb. maka timbullah perdagangan. Kenal-mengenal akan menumbuhkan simpati, lalu timbullah persatuan, lalu ada yang memimpin, maka muncul aspek politik. Demikianlah kenal mengenal itu akan membawa dampak positif pada seluruh aspek kehidupan manusia.

Coba Anda bayangkan! Sebelum Islam sudah ada dua adi kuasa yaitu Rumawi dan Persi. Yang ada dalam otak orang Rumawi dan Persi waktu itu hanyalah bagaimana menaklukkan manusia, menjajah manusia. Islam datang, maka yang diajarkannya adalah agar terjadi kenal mengenal itu. Jadi Allahlah yang menciptakan pluralis dalam berbagai segi. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi pluralisme. Karena itulah Islam menentang kekerasan dan pemaksaan.

Demikianlah, pesan yang terkandung dalam Ali Imran/3:12 itu bukanlah agar kita meniru Nabi saw pula dengan mengancam orang lain untuk mengikuti kita.

Bila demikian, apakah pesan ayat itu? Perlu dilihat konteks ayat. Ayat itu berbicara tentang Allah (ayat 2), yang memberi petunjuk bahwa manusia perlu mengimani-Nya. Berbicara tentang Al-Qur’an (ayat 3), yang berarti bahwa manusia perlu menerimanya. Berbicara tentang Rasul (ayat 7), yang berarti bahwa manusia perlu mengikutinya. Mencontohkan orang yang memiliki akal yang suci (ulu’l-bab) (ayat 7), yang mengimani semua itu, yang perlu ditiru. Mencontohkan sebaliknya, yaitu Firaun yang maharaja diraja itu, tetapi hancur di tangan Nabi Musa, yang memberitakan kepada manusia bahwa siapa yang membangkang kepada-Nya dapat menemui kehancurannya. Setelah itulah datang ayat ini, yaitu perintah kepada Nabi saw. agar memperingatkan kaum musyrik Makkah yang menyerang Nabi di Medinah, bahwa mereka akan menemui kehancurannya. Setelah itu memang datang ayat yang mengisahkan serangan kafirin Makkah itu, yaitu Perang Badar, dimana kaum muslimin yang berjumlah 313 orang itudapat mengalahkan kaum muyrikin yang berjumlah hampir 1000 orang.

Jadi ayat yang kita bicarakan itu berisi kisah dakwah Nabi saw. Beliau sampai diperangi oleh kaum musyrikin. Dalam suasana perang seperti itu tidak pantaskah Nabi memperlihatkan ketegarannya, dengan balas mengancam mereka bila masih juga menyerang? Demikianlah, kekerasan atau peperangan hanya dibolehkan dalam rangka membela diri.

Namun dalam rangka membela diri itu, peperangan hanya boleh dilakukan di tempatnya, yaitu di tempat terjadinya peperangan itu. Peperangan tidak boleh diperluas ke daerah-daerah aman. Bila daerah aman juga diserang, itu termasuk tindakan di luar batas (I’tida’/penyerangan/ekspansif), yang dilarang menurut ajaran Islam (al-Baqarah/2:190).

Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa peperangan itu tidak boleh melibatkan masyarakat sipil. Islam mengajarkan agar masyarakat sipil itu dilindungi, sesuai dengan pesan Nabi bahwa orang tua, perempuan, anak-anak, dan lingkungan tidak boleh diganggu. Kalau berperang, berperanglah antara seradadu dengan serdadu. Kalau melibatkan masyarakat sipil, itu berarti melakukan pembunuhan. Pembunuhan dalam Islam berdosa besar. Pelakunya alih-alih menyangka akan masuk surga, justru akan dijebloskan ke dalam neraka.

Jakarta, 25 Juli 2009

Salman Harun
UIN Jakarta

Rabu, 18 Maret 2009

ISLAM, AGAMA-AGAMA, DAN TOLERANSI

ISLAM, AGAMA-AGAMA, DAN TOLERANSI
Oleh
Prof. Dr. H. Salman Harun

Rasulullah Muhammad saw. bersabda:

الإسْلامُ اَنْ تَشْهَدَ أنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَأنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ, وَتُقِيْمَ الصلاةَ و تُؤْتِيَ الزكاةَ, و تَصُوْمَ رَمَضانَ, و تَحُجَّ البَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إلَيْهِ سَبِيْلاً (رواه مسلم عن عمر رضي الله عنه)
“Islam adalah bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, membayar zakat, berpuasa Ramadan, dan berhaji ke Baitullah bila mampu.”


Hadis itu menyampaikan sebuah definisi formal tentang Islam, bahwa Islam terdiri lima pilar, yaitu syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji. Dari dari hadis itu dipahami bahwa Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah Islam hanya agama yang dibawa Nabi Muhammad itu? Apakah nama agama yang dibawa oleh nabi-nabi yang lain? Persoalan itu muncul dari hadis itu. Karena itu jawabannya perlu dicari tidak lagi dari hadis tetapi dari Al-Qur’an. Ternyata Al-Qur’an memberikan jawaban, yang akan dikemukakan di bawah, bahwa para nabi/rasul adalah “muslim”. "Muslim" adalah bentuk kata benda pelaku (ism fa’il) dari aslama ‘beragama Islam’. Mereka dengan demikian beragama Islam dan menyeru umat untuk beragama Islam. Dengan demikian Islam tidak hanya agama yang dibawa Nabi Muhammad, tetapi juga agama yang dibawa oleh para nabi/rasul sebelumnya.
Rasul pertama setelah Nabi Adam yang diperintahkan berdakwah untuk seluruh umat manusia pada masanya adalah Nabi Nuh. Pengakuan sebagai seorang muslim sudah dinyatakan oleh rasul pertama ini. Allah berfirman mengutip sebagian ucapan dakwah Nabi itu kepada umatnya dalam Surah Yunus/10:72:
                 
"Jika kalian berpaling, maka saya tidak meminta upah apa pun, upah saya hanyalah dari Allah belaka, dan saya disuruh supaya termasuk orang-orang yang Muslim."

Nabi Nuh dalam ayat itu menyatakan kepada kaumnya bahwa ia tidak minta upah dari mereka atas pekerjaannya menyeru mereka ke jalan yang benar. Upahnya hanya ia harapkan dari Allah swt. Oleh karena itu ia tidak punya kepentingan pribadi atas upayanya itu. Kepentingannya semata-mata hanya agar mereka beriman dan menjadi orang-orang baik. Oleh karena itu seharusnya tidak ada alasan bagi mereka untuk menolak seruannya itu. Kemudian ia menyatakan bahwa ia diperintahkan oleh Allah untuk menjadi seorang muslim, yaitu berserah diri kepada-Nya, lalu mengimani-Nya dan menjalankan perintah-perintah-Nya. Mereka pun seharusnya demikian pula. Muslim adalah penganut agama Islam, dengan demikian agama Nabi Nuh dan agama yang diserukannya adalah Islam.
Di zamannya terjadi banjir besar yang melanda dunia. Bagaimana besarnya banjir itu dilukiskan dalam Surah Hud/11:43 bahwa anak Nabi Nuh yang mencari keselamatan dengan naik ke atas gunung tidak selamat, karena gunung itu pun tenggelam oleh banjir itu (bandingkan dengan sunami di Aceh, walaupun luar biasa besarnya, tetapi tidak sampai menenggelamkan gunung). Banjir besar itu menenggelamkan semua orang kafir. Yang hidup hanya mereka yang beriman, yaitu mereka yang naik ke atas kapal Nabi Nuh.
Mereka yang beriman itu kemudian membangun peradaban di daerah Hadralmaut, Yaman. Bangsa yang membangun peradaban pertama setelah Nabi Nuh ini bernama bangsa ‚Ad, yang sudah mampu membangun bangunan-bangunan bertingkat yang megah untuk ukuran pada masa itu. Tetapi kemudian mereka engkar, lalu Allah mengirim seorang rasul bernama Hud. Yang diserukan Nabi Hud persis sama dengan yang diserukan Nabi Nuh, yaitu „Sembahlah Allah, tiada Tuhan bagi kalian selain Dia.“ (Surah al-A’raf/7:59,65). Dengan demikian yang diserukan oleh Nabi Hud juga agama Islam. Ketika mereka tetap membangkang, mereka dihancurkan dengan semacam angin tornado yang mengangkat tubuh-tubuh besar mereka itu ke atas dan menjatuhkannya. Bagaimana tingginya tubuh-tubuh mereka terangkat dilukiskan oleh Al-Qur’an bahwa tubuh-tubuh itu ketika dijatuhkan oleh tornado itu terpisah dari kepala sehingga bagaikan tunggul-tunggul pohon kurma yang bergelimpangan (baca Surah al-Haqqah/69:6-7)
Setelah bangsa ‚Ad muncul peradaban di Hejaz, Saudi Arabiya, dari bangsa bernama Samud. Ketinggian peradaban mereka ditunjukkan oleh kemampuan mereka membangun rumah-rumah tinggal bagaikan istana yang mereka diami di musim dingin dan rumah-rumah peristirahatan yang mereka bangun dengan menakik gunung-gunung batu, serta kemampuan mereka membuat barang-barang seni yang begitu tinggi mutunya sehinga terlihat seakan-akan hidup. Mereka pun kemudian membangkang. Allah mengutus Nabi Shaleh. Mukjizat yang diberikan kepadanya bukan hanya patung unta yang tidak hanya terlihat seperti hidup, tetapi betul-betul menjelma menjadi unta hidup dari sebuah batu. Yang diserukan Nabi Shaleh juga sama yang diserukan Nabi Nuh dan Nabi Hud, yaitu „Sembahlah Allah, tiada Tuhan bagi kalian selain Dia.“ (Surah al-A’raf/7:73). Dengan demikian yang diserukan oleh Nabi Hud juga agama Islam.
Agama monoteisme kemudian diserukan oleh Nabi Ibrahim. Pada zaman Nabi Ibrahim, raja dan masyarakat menyembah berhala, tetapi Nabi Ibrahim berhasil memperoleh keimanannya kepada Allah melalui cara yang sangat tipikal. Kisahnya mencari Tuhan dapat kita simak dalam S. al-An’am/6:74-79, dimana pencariannya itu diawali sentuhan ilahiyah. Allah berfirman:
        
"Dan demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi dan supaya ia termasuk orang yang yakin."

Sentuhan ilahiyah dalam ayat itu adalah bahwa Allah sengaja membimbingnya dengan memperlihatkan kepadanya kerajaan alam ini. Kesadaran ketuhanannya terungkit oleh munculnya benda-benda angkasa itu yang kemudian disambut oleh sensitivitasnya terhadap lingkungannya. Ia menyadari pengaruh benda-benda angkasa itu terhadap lingkungannya, karena benda-benda angkasa itulah satu-satunya yang berkuasa dengan cahayanya ketika lingkungannya gelap gulita. Ia mula-mula keliru dengan menyangka bahwa benda-benda angkasa itu adalah Tuhan. Tetapi ia kemudian mempertajam rationya, bahwa sesuatu yang lenyap tidak mungkin adalah Tuhan. Akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan adalah pencipta semuanya itu, dan karena itu ia berikrar:
            
“Saya menghadapkan mukaku kepada yang menciptakan langit dan bumi, aku sucikan diriku, dan aku tidaklah akan menjadi orang musyrik.” (Surah al-An’am/6:79).

Dalam ayat ini ia menyebut dirinya seorang hanif, yaitu seorang yang menganut paham tauhid, bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Paham ini adalah akidah Islam yang sudah diajarkan terlebih dahulu kepada Nabi Nuh. Dengan demikian Nabi Ibrahim adalah pelanjut agama Islam yang telah diturunkan kepada Nabi Nuh, kemudian kepada Nabi Hud dan Nabi Shaleh tsb.
Dari kisah Nabi Ibrahim mencari Tuhan itu dipahami bahwa pengalamannya mencari Tuhan berdasarkan tiga komponen sekaligus, yaitu sentuhan ilahiyah ketika Allah memperlihatkan alam semesta kepadanya, pengalaman empiris ketika ia mengamati alam sekitarnya, dan kekuatan rasionya ketika ia mencerna fakta-fakta alam empiris itu. Berdasarkan tiga komponen itu dapatlah dilihat bagaimana kokohnya tauhid yang dimilikinya di tengah-tengah kepercayaan syirik yang dianut oleh masyarakatnya pada waktu itu. Karena itulah ia dipandang sebagai bapak agama tauhid. Ketauhidan yang dimiliki Nabi Ibrahim itulah yang dilegitimasi oleh Allah dan dijadikan-Nya tolok ukur iman umat manusia selanjutnya.
Bahwa ketauhidan yang ditemukan Nabi Ibrahim dijadikan tolok ukur dipahami dari firman Allah Surah al-Baqarah/2:135:
  •              
"Dan mereka berkata, "Jadilah kalian penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kalian mendapat petunjuk!" Katakanlah, "Tidak! Melainkan agama Ibrahim yang lurus. dan ia bukanlah termasuk orang yang musyrik."

Ajakan untuk menjadi Yahudi atau Nasrani itu diserukan oleh Ahlul Kitab kepada umat Nabi Muhammad. Nabi Muhamad diminta oleh Allah untuk menjawab bahwa yang harus diikuti adalah millah Ibrahim. Millah adalah sistem akidah (berbeda dengan din sebagai suatu sistem kehidupan yang lengkap). Demikianlah sistem akidah yang diajarkan Nabi Ibrahim, yaitu tauhid, tidak memandang Allah mempunyai sekutu dalam bentuk apa pun, seperti seorang anak, dsb.
Mengapakah kedudukan Nabi Ibrahim begitu diistimewakan Allah? Sebabnya adalah kesucian jiwanya sehingga dapat menemukan Tuhan dengan ketiga aspek kemanusiannya itu, sebagaimana sudah diterangkan. Sebab lainnya adalah, sebagaimana ditemukan dalam Al-Qur'an, kepatuhannya yang luar biasa di antaranya berkenaan dengan dua hal:
Pertama adalah ujian Allah kepadanya yang dapat diselesaikannya dengan sempurna. Allah berfirman dalam Surah al-Baqarah/2:124:
           ••           
“Ingatlah ketika Ibrahim diiuji oleh Tuhannya dengan beberapa perintah, lalu ia mengerjakannya dengan sempurna. (Allah) berfirman, “Saya menjadikanmu imam bagi manusia.” Ia berkata, “Juga anak-anak cucuku? (Allah) berfirman, “Janji-Ku tidak menyentuh orang-orang zalim.”

Ibnu ‘Abbas menyatakan bahwa ujian itu berupa kewajiban membersihkan jasmani yang meliputi sepuluh macam, lima terdapat di kepala dan lima terdapat di badan. Lima yang terdapat di kepala adalah menggosok gigi, kumur-kumur, membersihkan lobang hidung (dengan menghirup air dan membesitkannya ke luar), mencukur kumis, dan bercukur rambut. Lima yang terdapat di badan adalah mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, berkhitan, menggunting kuku, dan cebok (dengan air) (Ibn Katisr, I:115). Sepuluh macam ujian itu sudah dilaksanakan dengan tuntas oleh Nabi Ibrahim. Kita dapat membayangkan bagaimana sulitnya Ibrahim menyelesaikan kesepuluh bentuk ujian yang oleh Nabi Muhammad disebut sebagai kewajiban alami (fitri) itu, tetapi Ibrahim melaksanakannya dengan sempurna. Hal itu mengingat bahwa pada zaman modern ini saja masih banyak orang yang belum mampu melaksakanan sepuluh bentuk kebersihan itu dengan baik. Bahkan ada kebiasaan yang sesungguhnya kurang bersih tetapi dijadikan budaya, misalnya cebok bukan dengan air tetapi dengan tisu.
Ibn ‘Abbas juga menyatakan bahwa ujian itu bisa pula meliputi tiga puluh aspek kepatuhan. Sepuluh di antaranya dinyatakan dalam Surah al-Taubah/9:112, yaitu taubat, ibadah, pujian terhadap Allah, banyak melakukan perjalanan dakwah, ruku’, sujud, menyuruh berbuat baik, mencegah yang tidak baik, menjaga ketentuan-ketentuan Allah, dan beriman. Sepuluh lagi terdapat dalam Surah al-Mukminun/23:1-10, yaitu iman, khusyu’, menjauhi ucapan tak ada arti, zakat, menjaga kemaluan (hanya berhubungan dengan isteri/tidak berzina), menjaga amanah, menjaga salat, dan berusaha menjadi pewaris surga. Dan sepuluh lagi terdapat dalam Surah al-Ahzab/33:35, yaitu muslim, mukmin, patuh, benar, sabar, khusyuk, bersedekah, puasa, menjaga kemaluan, dan zikir. Dengan demikian Ibrahim betul-betul seorang suci jasmani dan rohaninya. Ia adalah seorang yang agung, sehingga ia oleh Allah disebut ummah (Surah al-Nahl/16:120), yaitu seorang yang bernilai jamak karena menghimpun seluruh sifat keagungan dalam dirinya (Shihab, 2006, 7:379).
Karena keagungannya itu ia diangkat Allah menjadi imam, yaitu menjadi nabi dan pemimpin masyarakatnya (Surah al-Baqarah/2:124):
   ••           
(Allah) berfirman, “Saya menjadikanmu imam bagi manusia.” Ia berkata, “Juga anak-anak cucuku? (Allah) berfirman, “Janji-Ku tidak menyentuh orang-orang zalim.”

Nabi Ibrahim memohon anak-anak cucunya juga bisa menjadi nabi-nabi. Allah menjawab bahwa hal itu dikabulkan, tetapi hanya anak-anak cucunya yang beriman.
Kedua adalah perintah Allah kepadanya untuk Islam, yaitu patuh dan menjalankan perintah-perintah-Nya secara tuntas, yang juga beliau laksanakan dengan seksama, sebagaimana dinyatakan dalam S. al-Baqarah/2:131:
         
"Ingatlah ketika Tuhannya berkata kepadanya, 'islamlah1' Ia berkata, 'Saya Islam kepada tuhan semesta alam."

Jawaban Nabi Ibrahim itu begitu cepatnya, yang menunjukkan bahwa sebelum diperintahkan ia sudah memeluk Islam dan sudah menjalankan apa yang diajarkan Islam itu. Karena kesucian Nabi Ibrahim, keagungan sifat-sifatnya, kebenaran akidahnya, kepatuhannya yang luar biasa itulah kiranya mengapa Nabi Ibrahim dijadikan acuan tentang agama yang benar dan ketuntasan pelaksanaannya, sebagaimana dinyatakan dalam Surah al-Baqarah/2:135 yang sudah diterangkan di atas.
Dalam ayat lain (Surah Ali ‘Imran/3:67), Allah memang menyebut dirinya, di samping seorang hanif, juga seorang muslim:
             
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang suci lagi muslim, dan sekali-kali bukanlah ia termasuk orang-orang musyrik.”

Dengan demikian agama yang dianut oleh Ibrahim adalah Islam. Ibrahim melanjutkan agama yang telah diturunkan kepada Nabi Nuh (dan Nabi Hud dan Nabi Shaleh) yaitu Islam.
Agama Islam itulah yang kemudian ia pesankan kepada anak-anaknya, anak-anaknya memesankannya kepada cucu-cucunya, dan cucunya, Nabi Ya'kub, memesankan lagi kepada cicit-cicitnya, yang jumlahnya dua belas orang, yang menurunkan dua belas suku (clan) Bani Israil, sebagaimana difirmankan dalam S. al-Baqarah/2:132:
      •         
Dan Ibrahim telah mewasiatkan (Islam) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub, "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilihkan agama itu bagi kalian, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".

Jadi, agama untuk anak-anak itu dipilihkan oleh orang tuanya, supaya anak-anak tidak tertombang-ambing. Itulah yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim, yang dilanjutkan Nabi Ya’kub. Nabi Ya'kub bahkan sampai mengecek keimanan anak-anaknya sebelum meninggal, agama apa yang dipeluk mereka setelah ia wafat. Dan betapa ia bahagia sekali dalam menutup matanya ketika ia memperoleh jawaban yang sangat indah dari anak-anaknya itu, sebagaimana dikisahkan Al-Qur’an:
                           
“Atau apakah kalian hadir ketika maut mendatangi Ya'kub, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kalian sembah sepeninggalku?" Mereka menjawa,: "Kami menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Mahaesa dan kami Islam kepada-Nya." (S. al-Baqarah/2:133).

Dalam ayat ini jelas bahwa anak-anak Nabi Ibrahim dan cucu-cucunya melanjutkan ajaran tauhid yang diajarkannya. Dan mereka menyatakan bahwa mereka adalah muslim, orang-orang yang beragama Islam. Agama Nabi Ibrahim beserta anak-anak cucu dan cicit-cicitnya adalam Islam. Bagaimanakah nabi-nabi yang lain?

oooo0oooo

Sezaman dengan Nabi Ibrahim adalah Nabi Luth. Ia diutus kepada suatu kaum yang mendiami satu daerah bernama Sadum, yang biasa melakukan perbuatan homoseksual sehingga perbuatan itu sampai sekarang dinamai sadomi. Nabi Luth berusaha membawa mereka kembali kepada kehidupan yang benar dan normal, tetapi tidak berhasil. Al-Qur’an menginformasikan bahwa yang beriman hanya satu rumah yang penghuninya adalah muslim. Rumah itu adalah rumah Nabi Luth dan dua anak perempuannya (sedangkan isterinya sendiri termasuk orang-orang yang dihancurkan Allah), sebagaimana diinformasikan ayat berikut:
      
“Tapi tiada Kami dapatkan di situ seorang muslim, kecuali dalam sebuah rumah.”
(Surah al-Zariyat/51:36).

Dengan demikian agama yang dianut dan diserukan oleh Nabi Luth adalah juga Islam.
Agama Islam itu pulalah yang diserukan oleh nabi-nabi berikutnya. Nabi Yusuf a.s. juga beragama Islam dan memohon kepada Allah agar ia wafat dalam agama Islam itu, sebagaimana diinformasikan ayat berikut:
                        
Ya Tuhanku! Sesungguhnya Engkau telah menganugerahiku kekuasaan dan telah mengajariku ta'bir mimpi. Ya Pencipta langit dan bumi! Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat. Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah Aku dengan orang-orang yang saleh. (S. Yusuf/12:101)

Nabi Musa a.s. juga menyerukan Islam itu:
            
Musa berkata,: "Hai kaumku, jika kalian beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya, jika kalian benar-benar orang Muslim." (S. Yunus/10:84).

Nabi-nabi Bani Israil semuanya juga beragama Islam dan menerapkan hukum Taurat kepada mereka dan kepada rabbani-rabbani dan pendeta-pendeta mereka:
         •               
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Taurat di dalamnya petunjuk dan cahaya yang dengannya Nabi-Nabi yang Muslim itu memutuskan hokum bagi Bani Israil, rabbani-rabbani, dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka memelihara kitab-kitab Allah itu dan menjadi saksi atasnya. (S. al-Ma'idah/5:44).
Penduduk asli Mesir yang menjadi tukang-tukang sihir Firaun juga menyatakan dirinya masuk Islam dan membangkang kepada Firaun:
  •   •            
“Tetapi kau membalas dendam kepada kami hanya karena karena kami beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika sampai kepada kami. Ya Tuhan kami! Limpahilah kami kesabaran dan wafatkanlah kami dalam keadaan muslim." (Surah al-A’raf/7:126).

Bahkan Firaun, yang menjadi sasaran dakwah Nabi Musa, di saat nafasnya sudah megap-megap karena tenggelam di Laut Merah, beriman pada Tuhannya Bani Israil dan menyatakan dirinya muslim:
            
“Saya beriman kepada yang diimani Bani Israil dan saya termasuk seorang muslim.” (Yunus/10:90).

Nabi Sulaiman dan umatnya adalah orang-orang Muslim sebagaimana diinformasikan ayat berikut:
              • 
Dan tatkala (Sang Ratu) tiba, ditanyakan (orang) kepadanya, "Seperti inikah singgasanamu?" Ia menjawab: "Seperti inilah (singgasanaku)! Kami (Sulaiman) telah diberi ilmu ebelum ini dan kami adalah orang-orang muslim." (Surah al-Naml/27:42)

Dalam ayat itu dinyatakan bahwa Nabi Sulaiman setelah meminta Ratu Bilqis dari Saba’ untuk masuk Islam, ia sudah mengetahui bahwa ratu itu akan segera datang untuk menyetakan keislamannya, dan untuk itu ia memindahkan singgasana ratu itu di Yaman ke tempatnya dengan sekejap mata. Ratu itu memang datang untuk menyatakan keislamannya setelah takjub pada ketinggian teknologi yang dimiliki Nabi Sulaiman, sebagaimana diinformasikan ayat berikut:
                               
“Dikatakan kepadanya: "Masuklah ke dalam istana". Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: "Sesungguhnya itu adalah istana licin terbuat dari kaca". Berkatalah Balqis: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku Telah berbuat zalim terhadap diriku dan Aku ber-Islam diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam." (Surah al-Naml/27:44).


Sahabat-sahabat Nabi Isa a.s. yang setia juga menyatakan keislaman mereka:
         •   
Dan ingatlah, ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: "Berimanlah kalian kepada-Ku dan kepada rasul-Ku". Mereka menjawab, 'Kami beriman dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang Muslim." (Surah al-Ma’idah/5:111).

Bahkan agama jin yang beriman pun adalah Islam, sebagaimana diinformasikan ayat berikut:
 •  •        
“Dan sungguh di antara kami ada orang-orang yang Muslim dan ada yang menyimpang. Siapa yang yang Islam maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus.” (Surah al-Jinn/72:14).

Demikianlah sekian banyak data dan fakta dalam Al-Qur'an yang membuktikan bahwa agama yang dianut dan diajarkan oleh nabi-nabi adalah Islam. Fakta itu ditegaskan lagi dengan ringkas dan jelas dalam dalam ayat lain:
        •                    
Sesungguhnya Kami telah mewahyukan kepadamu (ya Muhammad), sebagaimana telah Kami wahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan Kami berikan Zabur kepada Daud. (S. al-Nisa'/4:163).

Ajaran yang diberikan kepada nabi-nabi itu sama, dan karena itu agama mereka tentu juga sama yaitu Islam. Di dalam Al-Qur’an memang ditegaskan bahwa agama yang berasal dari Allah hanyalah Islam dan karena itu tentulah hanya agama itu yang diberikan-Nya kepada nabi-nabi-Nya:
•    
“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.” (Surah Ali ‘Imran/3:19).

Islam yang diberikan-Nya kepada Nabi Muhammad, dengan demikian, sama dengan yang diberikan-Nya kepada nabi-nabi yang lain. Kesamaan Islam yang dibawa nabi-nabi itu meliputi tiga asas utama, sebagaimana diinformasikan Surah al-Baqarah/2:62:
•     •                  
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang yang dapat petunjuk, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa yang beriman kepada Allah, Hari Kemudian, dan berbuat baik, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran pada mereka, dan tidak ada pula mereka bersedih.

Yang dimaksud “mereka yang beriman” ()dalam ayat ini adalah umat Nabi Muhammad. Kata “iman kepada Allah” dalam Al-Qur’an maksudnya adalah iman secara tauhid, yaitu hanya beriman kepada Allah. Beriman kepada Allah, tetapi di samping itu beriman pula kepada yang lain, di dalam Al-Qur’an dinyatakan sebagai telah melakukan kesyirikan:
                         
Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan, juga Almasih putera Maryam, bukan Allah. Padahal mereka mereka diperintahkan hanya menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan selain Ia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (Surah al-Taubah/9:31).

Iman secara tauhid itulah yang diajarkan kembali oleh Nabi Muhammad, karena itu yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman dalam ayat ini adalah umat Nabi Muhammad tsb.
“Orang yang dapat petunjuk” (اّلذِيْنَ هدُوْا) adalah umat Nabi Musa pada zamannya. Umat ini, setelah Nabi Isa dan kemudian Nabi Muhammad datang, tetap hanya mau percaya kepada Nabi Musa dan tidak mau percaya kepada kedua nabi tsb. Pada zaman Nabi Muhammad mereka terus diseru untuk peracaya kepadanya. Ketika mereka tetap tidak mau beriman, mereka diberi nama اليَهُوْد (Rahman, 1980:215). Dengan demikian istilah “Yahudi” datang belakangan, dan maknanya adalah “Orang Yahudi” atau “orang yang beragama Yahudi”. Di dalam Al-Qur’an terdapat dua istilah (term) yang berbeda: اّلذِيْنَ هدُوْا dan اليَهُوْد . Menyamakan dua term yang berbeda adalah salah. Menerjemahkan اّلذِيْنَ هدُوْا dengan “orang Yahudi” dengan demikian jelas salah. اّلذِيْنَ هدُوْا adalah umat Nabi Musa yang kemudian tetap hanya beriman kepadanya sampai masa Nabi Muhammad saw. Setelah itu mereka disebut اليَهُوْد sampai sekarang.
• adalah umat Nabi Isa pada zamannya. Mereka juga tetap hanya percaya kepada Nabi Isa walaupun nabi baru sudah datang yaitu Nabi Muhammad.
 adalah mereka yang tetap percaya kepada Allah pada zaman kekosongan (fatrah) rasul-rasul.
Dengan demikian maksud ayat itu adalah bahwa umat nabi-nabi pada zaman masing-masing, termasuk mereka yang tetap iman kepada Allah pada zaman kekosongan nabi-nabi, bila mereka beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan berbuat baik, mereka diberi pahala atas iman dan perbuatan baik mereka, dan mereka dengan demikian masuk surga. Dengan demikian ayat itu tidak berkenaan dengan umat Yahudi dan umat Nasrani sekarang. Ayat itu sama sekali tidak berkenaan dengan kesamaan agama-agama Islam, Yahudi, dan Nasrani sekarang, tetapi adalah kesamaan agama-agama yang dibawa oleh nabi-nabi pada zaman mereka masing-masing.
Berdasarkan ayat itu, kesamaan Islam nabi-nabi adalah pada tiga aspek ajaran dasar, yaitu keimanan tauhid kepada Allah, keimanan kepada Hari Kemudian, dan berbuat baik. Iman kepada Allah menghendaki agar manusia berbuat baik, karena Allah memerintahkan berbuat baik itu. Perbuatan baik itu perlu dibalasi, dan pembalasan yang sempurna tidak mungkin diberikan di dunia ini. Oleh karena itu perlu adanya Hari Kemudian. Islam dengan kesamaan ajaran-ajaran dasarnya inilah yang dipahami oleh, misalnya Harun Nasution almarhum, dengan nama “islam”, “i” huruf kecil, untuk menunjukkan Islam sebagai genus, dan untuk membedakannya dengan Islam, dengan “I” (kapital), untuk menyebut agama yang dibawa Nabi Muhammad.
Di samping tiga aspek ajaran dasar itu, kesamaan Islam para nabi juga mencakup pelaksanaan syariat. Syariat yang dikerjakan para nabi adalah salat.
Nabi Ibrahim mendirikan salat dan memohon kepada Allah agar anak-anak cucunya juga bisa melaksanakan ibadah itu:
         
Tuhanku! Jadikanlah Aku orang yang mendirikan shalat, dan setiap anak-anak cucuku, Tuhan kami! Perkenankanlah doaku! (Surah Ibrahim/14:40).

Nabi Ismail memerintahkan pengikutnya salat dan membayar zakat:
    •    
Dan ia selalu menyuruh pengikutnya salat dan membayar zakat, dan ia diridai Tuhannya. (Surah Maryam/19:55)

Nabi Ishaq dan Ya’kub juga diperintahkan berbuat baik, mengerjakan salat, dan membayar zakat:
           •    
Kami jadikan mereka pemuka-pemuka yang menyampaikan petunjuk menurut perintah Kami. Dan Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan perbuatan baik, mendirikan salat, membayar zakat, dan kepada Kami mereka menyembah, (Surah al-Anbiya’/21:73).

Nabi Syuaib melaksanakan salat, dan meminta pula umatnya melaksanakannya dan menghentikan kecurangan dalam menakar dan menimbang, tetapi umatnya menolaknya dan melecehkan salat itu dengan menyatakannya sebagai penghalang mereka berbuat dosa:
                 •   
Mereka berkata: "Hai Syu'aib! Apakah salatmu menyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh leluhur-leluhur kami, atau supaya kami jangan memperlakukan kekayaan kami menurut kehendak kami? Sungguh kau seorang yang sangat lembut hati dan mengerti." (Surah Hud/11:87).

Nabi Musa diperintahkan Allah salat:
          
Sungguh Akulah Allah, tiada Tuhan selain aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku. (Surah Thaha/20:14).

Nabi Musa meminta umatnya mendirikan salat dengan rumah sendiri sebagai kiblat, artinya mereka tetap harus melaksanakan salat sekalipun di rumah masing-masing karena Firaun melarang mereka mengerjakannya di rumah ibadah:
                
Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya, "Tempatilah oleh kalian berdua rumah-rumah di Mesir bagi kaum kalian, dan jadikanlah rumah-rumah kalian sebagai kiblat. Dirikanlah oleh kalian salat serta sampaikanlah khabar gembira kepada orang-orang yang beriman".(Surah Yunus/10:87).

Nabi Isa juga diperintahkan salat:
       •   
Dan Ia menjadikan aku diberkati di mana pun aku berada, dan memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan (membayar) zakat selama aku hidup. (Surah Maryam/19:31).

Bahkan Luqman, yang “hanya” seorang pemikir, juga meminta anaknya salat:
             •    
Hai anakku! Dirikanlah salat dan suruhlah orang mengerjakan kebaikan dan cegahlah mereka berbuat mungkar dan bersabarlah menanggung apa yang menimpa dirimu. Inilah ketentuan Allah mengenai soal-soal (manusia). (Luqman/31:17)

Dari uraian di atas jelaslah bahwa nabi-nabi salat dan memerintahkan umat mereka salat. Dengan demikian syariat mereka sama dengan syariat Islam Nabi Muhammad, yang menjadikan salat sebagai salah satu rukun agama yang dibawanya.
Di samping salat, nabi-nabi berzakat dan memerintahkan umatnya untuk berzakat. Misalnya dalam Al-Qur’an: Nabi Ishaq, Nabi Ya’kub, Nabi Isa, yang sudah kita kutipkan ayat-ayat yang menginformasikannya di atas. Fakta ini juga menunjukkan bahwa syariat nabi-nabi itu sama dengan syariat yang diajarkan oleh Nabi Muhammad.
Mengenai puasa, di atas sudah dinyatakan bahwa puasa itu adalah salah satu dari tiga puluh perintah yang yang sudah dikerjakan Nabi Ibrahim dengan sebaik-baiknya. Ibadah itu tentulah di antara yang juga telah dipesankan oleh Nabi Ibrahim kepada anak-anak cucunya. Oleh karena itu puasa dikerjakan oleh nabi-nabi sampai Nabi Isa dan umat mereka. Puasa, dalam agama Islam yang diajarkan Nabi Muhammad, merupakan salah satu rukun agama itu.
Demikian pula ibadah haji. Ibadah haji adalah ibadah yang diserukan Nabi Ibrahim:
  ••           
Dan serulah manusia untuk beribadah haji, mereka akan datang kepadamu berjalan kaki, atau naik unta-i unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru, (Surah al-Hajj/22:27).

Anak-anak cucu Nabi Ibrahim yang juga menjadi nabi-nabi tentulah juga melaksakan ibadah itu. Ibadah itu dikenal dikerjakan pada zaman jahiliah sampai ke masa kedatangan Islam, walaupun dikerjakan tidak sebagaimana mestinya, misalnya dengan tidak berbusana dalam tawaf, karena mereka memandang pakaian itu ikut berdosa ketika mereka mengerjakan dosa dalam kehidupan sehari-hari, karena itu mereka tawaf tanpa busana.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa kesamaan Islam para nabi tidak hanya dalam masalah akidah tetapi juga dalam syariah dan ibadah. Dalam masalah akidah mereka sama mengimani Allah, Hari Kemudian, dan balasan amal nanti di Hari Kemudian itu. Dan dalam syariah mereka sama berkewajiban mengerjakan salat, membayar zakat, berpuasa, dan melaksanakan ibadah haji. Bahkan dalam tatacara ibadat-ibadat pun mereka sama, karena ibadat-ibadat itu sama-sama dikerjakan para nabi/rasul dan tidak ada informasi bahwa tatacara ibadat mereka itu berbeda-beda. Dengan demikian akidah, syariah, dan ibadah yang diajarkan Nabi Muhammad sama dengan akidah, syariah, dan ibadah yang diajarkan oleh seluruh nabi/rasul. Selanjutnya berarti bahwa Islam yang diajarkan Nabi Muhammad sama dengan Islam yang diajarkan para nabi/rasul terdahulu. Dan dengan demikian membedakan “Islam”-nya Nabi Muhammad (“I” kapital) dan “islam”-nya para nabi/rasul yang lain (“i” kecil), tidaklah benar.
Di dalam Al-Qur’an memang terdapat ayat:
          •                           •                   
Dan Kami turunkan kepadamu Kitab (Al-Quran) yang mengandung kebenaran, untuk membenarkan Kitab terdahulu dan untuk menjaganya. Maka putuskanlah perkara antara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah ikuti nafsu mereka yang menyimpang dari kebenaran yang Telah datang kepadamu. Bagi masing-masing daripadamu Kami tentukan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, tentulah Ia jadikan kalian satu umat, tetapi maksudnya Ia hendak menguji kalian dalam hal yang diberikan-Nya kepada kalian, Karena itu berlomba-lombalah kalian dalam kebajikan. Kepada Allah kalian kembali semuanya, dan Ia-lah yang akan memberitahukan kepada kalian apa yang kalian perselisihkan,

Ayat itu menyatakan tentang perbedaan agama-agama, bukan mengenai perbedaan antara umat yang beragama Islam. Perbedaan itu, sebagaimana dipahami dari ayat-ayat sebelumnya, mengenai agama Yahudi, Nasrani, dan Islam. Perbedaan itu yaitu mengenai  dan  sebagaimana dinyatakan dalam potongan ayat di atas:
     
Bagi masing-masing daripadamu Kami tentukan aturan dan jalan yang terang.

 , menurut al-Asfahani (t.t.:258), adalah syariat agama, dan  adalah tatacara pelaksanaannya. Dengan demikian syariat dan tatacara pelaksanaannya agama Islam memang berbeda dengan syariat dan tatacara pelaksanaan syariat agama-agama lain. Dengan demikian jelas bahwa Islam itu satu semenjak adanya, baik dalam hal akidah maupun dalam hal syariah dan ibadah dari seluruh nabi-nabi Allah. Dan dengan demikian agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad sama dengan agama yang dibawa seluruh nabi itu, yaitu agama bernama Islam, bukan agama-agama bernama lain dari itu.
Agama-agama lain dari Islam, yang diisyaratkan Al-Qur’an, adalah agama Yahudi dan agama Nasrani. Dikatakan “diisyaratkan” karena term “agama Yahudi” (Yahudiyyah) dan “agama Nasrani” (Nasraniyyah) tidak terdapat di dalam Al-Qur’an. Hal itu berbeda dengan “Islam”, yang dinyatakan dengan tegas bahwa itu adalah nama agama:
    
Dan Saya rida Islam sebagai agama kalian (Surah al-Ma’idah/5:3)

Di dalam Al-Qur’an hanya terdapat term “orang Yahudi” (Yahudiy) dan “orang Nasrani” (Nasraniy), sebagaimana sudah dikutip ayatnya di atas:

             
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang suci lagi muslim, dan sekali-kali bukanlah ia termasuk orang-orang musyrik.” (Surah Ali ‘Imran/3:67).

Dengan adanya term “orang Yahudi” (Yahudiy) dan “orang Nasrani” (Nasraniy) itu, dipahami adanya “agama Yahudi” dan “agama Nasrani”, yang berbeda dengan agama Islam. Di dalam Al-Qur’an, di samping Allah membantah bahwa Ibrahim adalah seorang Yahudi atau seorang Nasrani itu, Allah juga membantah keyahudian atau kenasranian dia dan anak-anak cucunya:
  •       •                       
Ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?" Katakanlah: "Apakah kalian lebih mengetahui ataukah Allah? Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan kesaksian yang ia peroleh dari Allah?" Allah sekali-kali tiada lengah akan apa yang kalian kerjakan. (Surah al-Baqarah/2:140)

Berdasarkan bantahan Allah bahwa Nabi Ibrahim dan anak-anak cucunya bukanlah penganut agama Yahudi atau agama Nasrani itu dipahami bahwa agama Yahudi dan agama Nasrani bukanlah agama yang berasal dari Allah swt. Oleh karena itu tentulah tidak benar pendapat sementara orang akhir-akhir ini bahwa semua agama itu sama, sama-sama membawa kepada keselamatan nanti di akhirat (masuk surga).
Kesamaan agama-agama itu mereka simpulkan dari Surah al-Baqarah/2:62.
Sebagaimana sudah diulas di atas, pendapat itu tidak benar, paling kurang karena dua hal:
1. Menerjemahkanاّلذِيْنَ هدُوْا dengan “orang-orang Yahudi” adalah salah, karena di dalam Al-Qur’an terdapat dua istilah (term) yang berbeda: اّلذِيْنَ هدُوْا dan اليَهُوْد, yang tidak mungkin berarti sama. Begitu juga النصاري, mereka adalah umat Nabi Isa, bukan umat Kristen sekarang. Oleh karena itu ayat itu tidak berbicara tentang umat Yahudi dan umat Kristen sekarang.
2. Ayat itu berbicara tentang umat nabi-nabi pada zaman masing-masing, yaitu bahwa ajaran-ajaran dasar mereka sama, meliputi keimanan tauhid kepada Allah, keimanan kepada Hari Kemudian, dan berbuat baik.
Bahwa mereka juga akan memperoleh keselamatan nanti di akhirat juga tidak sesuai dengan apa yang dinyatakan Al-Qur’an. Allah berfirman di antaranya:
           
Orang-orang kafir, yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik, tidak akan meninggalkan (kepercayaan mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata, (Surah al-Bayyinah/98:1)

Mereka adalah Ahl al-Kitab, dan mereka jelas dalam ayat ini dinyatakan kafir. Mereka yang kafir dinyatakan dalam Al-Qur’an bahwa tempat mereka bukanlah surga.

oooo0oooo

Pertanyaan selanjutnya adalah mengenai toleransi, bagaimanakah toleransi dalam Islam? Di bawah ini disampaikan beberapa prinsip toleransi dalam Al-Qur’an:
1. Eksistensi agama-agama non muslim dijamin, agama-agama itu dilindungi, dan pemeluknya diberi kebebasan menjalankan agama mereka masing-masing
Di atas sudah dijelaskan bahwa Nabi Muhammad telah menyeru umat Yahudi dan umat Nasrani agar beriman kepadanya, yaitu memeluk Islam, tetapi sedikit sekali dari mereka yang menyambut seruan itu. Karena berbagai upaya sudah dilakukan, maka mereka akhirnya dibiarkan. Agama mereka dipandang sebagai agama tersendiri di luar Islam, dan berkenaan agama-agama itu, Allah memfirmankan:
   
Bagi kalian agama kalian, dan bagi saya agama saya. (Surah al-Kafirun/109:6).

Dengan demikian eksistensi agama apa pun dijamin, agama-agama itu dilindungi, dan pemeluknya diberi kebebasan menjalankan agama mereka masing-masing. Jelaslah bahwa toleransi yang diberikan Islam sangat mendasar.
2. Islam meminta manusia agar menghormati kesucian rumah-rumah ibadah, dalam arti bahwa rumah-rumah ibadah itu harus dilindungi dan menjamin kebebasan melaksanakan ibadah di dalamnya. Bila hal itu dilanggar, umat Islam wajib membelanya dan Allah akan membela pihak yang diserang itu:
      •     
               ••                       
Diizinkan orang yang diperangi untuk berperang, karena mereka dianiaya. Dan sungguh Allah Mahakuasa untuk memberi mereka pertolongan, (Yaitu) orang yang diusir dari rumah mereka dengan tiada semena-mena, hanya karena mereka berkata, "Tuhan kami ialah Allah." Sekiranya Allah tiada menghindarkan keganasan dalam peperangan antara manusia, tentulah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, dan kanisah-kanisah orang Yahudi dan masjid-masjid, dimana nama Allah banyak disebut. Sungguh Allah membela orang yang membela-Nya. Sungguhnya Allah Mahakuat Mahaperkasa, (Surah al-Hajj/22:40).

3. Allah meminta umat Islam agar berlaku baik dan bekerjasama dengan umat-umat agama lain dalam menyejahterakan masyarakat dan menegakkan keadilan:
                  •   
Allah tidak melarang kalian berlaku bajik dan adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari rumah kalian. Sesungguhnya Allah cinta orang yang adil. (Surah al-Mumtahanah/60:8).

Dalam ayat ini Allah mempersilahkan kaum muslimin memperlakuan kaum non-muslim dua hal. Pertama berbuat bajik yang diungkapkan dengan kata birr. Sebagaimana diketahui kata itu biasanya dalam Al-Qur’an digunakan untuk bakti kepada orang tua. Dengan demikian umat Islam dipersilahkan Allah untuk berbuat bajik terhadap non-muslim setingkat dengan perbuatan bajik terhadap orang tua sendiri. Kedua memperlakukan non-muslim secara sama (equal), tidak berat sebelah, tidak diskrimantif dalam segala hal. Tetapi hal itu dengan syarat bahwa mereka tidak diperangi atas nama agama dan tidak diusir dari rumah mereka serta tidak dirampas harta benda mereka. Bila mereka diperangi atau diusir atas nama agama, maka berteman baik dengan mereka pun dilarang, sebagaimana dinyatakan ayat berikutnya:
                      
“Allah hanya melarang kalian menjadikan sebagai kawan orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan mengusir kalian dari rumah kalian, serta membantu (orang lain) mengusir kalian. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (Surah al-Mumtahanah/60:9).

4. Allah melarang perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang miskin. Penanggulangan kemiskinan tidak dibenarkan pilih kasih:
                                
Bukanlah kewajibanmu membuat mereka dapat hidayah, tetapi Allah-lah yang memberi hidayah siapa yang Ia berkenan. Dan segala yang baik yang kalian nafkahkan adalah untuk diri kalian sendiri, dan tiadalah kalian memberi nafkah kecuali untuk mencari keridaan Allah. Dan apa saja yang kalian nafkahkan, kalian akan memperolehi pahalanya dengan cukup dan kalian tidak teraniaya. (Surah al-Baqarah/2:272).

Dalam ayat ini Allah menghendaki agar perhatian terhadap golongan lemah dan penanggulangannya tidak memandang agama, status, ras, atau baik atau jahat seseorang, karena yang mampu membuat seseorang beriman atau kafir, baik atau jahat itu bukan manusia, tetapi Allah sendiri.
Islam adalah agama yang mutlak perlu diyakini.Tetapi agama-agama lain perlu dihormati dan dijamin eksistensinya. Sikap dan tingkah laku itu paling efektif dibina melalui pendidikan. Oleh karena itu diperlukan pendidikan antar iman (multi-faith education) dalam kerangka keyakinan dan pandangan di atas.

Referensi:
Al-Asfahani, al-Raghib. Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an.
Ibn Kasir. Tafsir al-Qur’an al-“Azim.
Nasution, Harun. 1994. Islam Rasional. Bandung: Mizan.
Rahman, Fazlur. 1980. Tema Pokok Al-Qur’an. Bandung: Pustaka.
Shihab, M. Quraish. 2006. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.

Ciputat, 12 Juli 2007
Penulis,

Salman Harun

Selasa, 10 Maret 2009

ISLAM AND YOGA

ISLAM AND YOGA*by
Prof. Dr. Salman Harun**

This morning I had my first experience with Yoga when I joined exercises of Yoga led by Dr. Somvir. From that experience I have the strong opinion, as I have written in my paper, that there is no contradiction between Yoga and Islam, from any aspect.
In fact we have been divided into categories of race, nation, and belief. But in Yoga I am sure that we can live together in harmony, compassion, and peace, because Yoga is the rightful property of mankind and it does not belong to any one culture, nation, or religion.
It is a fact nowadays that Islam has been portrayed as a religion of violence and terrorism. I would like to stress here, with the following examples, that this opinion is fully wrong:
1. According to Islam, mankind comes from a common ancestor, so we are all brothers (4:1).
2. According to Islam, we are divided into many races and ethnics, tribes, and nations. But the aim is to know one another, to understand, and to love (49:13).
3. Islam is a peaceful religion. For example, its name derives from the Arabic word “salam”, meaning peace, and a good Muslim performs five prayers each day closes with the declaration "peace for you, and Mercy of God and His Bliss".
4. Islam acknowledges the existence of the other religions, and challenges them to do good deeds (5:48).
5. Islam recognizes that Islam, Judaism, and Christianity come from one ancestor, namely Abraham (2:213).
6. According to Islam, the issue of faith is not a human affair, but it is the right of God to judge our faith in the hereafter, not now in our living world. Therefore, no human has the right to discriminate against another based on his or her religion or race (S. 3:85).
7. According to Islam, in every community God sent a guardian. They are in the form of priests, rabbis, philosophers, or scholars (35:24)\.
8. It is prohibited to force someone to embrace a religion (5:109).
9. Islam forbids insulting another religion (6:108).
10. Islam forbids war in the name of religion, because “it will pull down monasteries, churches, synagogues, and mosques, wherein the name of God is mentioned much.” (22:39-40).
11. Islam condems terrorism, because it is opposed to violence, the targeting civilians, and fear-mongering (8:61).
12. Islam maintains the brotherhood (and sisterhood) of mankind. He respects human life. That is why the taking of a life warrants a sentence to death (qishash) (5:32).
13. Islam gives protection to non-Muslim, guarding their lives and their safety (9:6).
14. Dedication to non-Muslims is acceptable, as is dedication to the parents, but it must be under the condition that they are not fought for and are not expelled from their homes in the name of the religion (60:8).
15. Islam does not discriminate against the believers in fighting against poverty (2:272).
16. The Issue of Jihad
“Jihad” means fighting against an enemy. The background of the verses of Jihad revealed in the Quran is the condition of Islam in Medina in the Prophet’s era. At the time, Muslims were a small group with little power. The powerful were the Quraish supported by the tribes around Medina. They attacked Medina, and then, at that time, war could not be avoided. But this war was won by Islam. The second war in the next year was won by Meccans. They always threatened. This is the situation and conditio, and why the verses of jihad were revealed. Thus, jihad is defense against attackers. So, Jihad is not an offensive attack.

The conclusion is that Islam is not dangerous for mankind. Islam accepts Yoga. Furthermore, I suggest to Indonesian Muslims to accept Yoga and adopt it as a medium for a call (dakwah).

Denpasar, 3 of March, 2009
Salman Harun

• Keynote speech pointers presented at “Yoga for Health and Peace Festival” held by Bali-India Foundation, Denpasar, 3-10 Maret, 2009.
** Professor of Tafsir (Qur'anic interpretation); former Dean of the Faculty of Education, "Syarif Hidayatullah" State Islamic University, Jakarta, Indonesia (1994-1996, 2001-2005); Director of the Center for Multi-faith Education at that University. Address: Jl. Juanda 95 Ciputat 15419 Jakarta Indonesia, phone: +6221-7409866, mobile: +6281314130061, e-mail: salmanhar2000@yahoo.com. Blog: salmanharun-institute@blogspot.com

Jumat, 23 Januari 2009

Tafsir 2:3b: CIRI KEDUA ORANG TAKWA: SALAT, YANG MENJAMIN MANUSIA MENJADI BAIK

CIRI KEDUA ORANG TAKWA: SALAT, YANG MENJAMIN MANUSIA MENJADI BAIK

“Dan mendirikan salat,” (2:3b).
Mendirikan salat adalah ciri kedua orang yang takwa. “Mendirikan” sesuatu adalah menegakkannya sekukuh-kukuhnya sehingga tidak goyah sedikit pun. Mendirikan salat maksudnya melaksanakannya sesempurna-sempurnanya. Itu sudah dimulai dari wuduk, dan meliputi tatacaranya, bacaannya, sikapnya, waktunya, dsb.
Wuduk dimulai dengan mensucikan diri dari kotoran, terutama dua tempat keluar kotoran itu. Selanjutnya berniat bahwa kita berwuduk itu semata-mata untuk membersihkan diri kita, mensucikannya dari dosa, dan guna mendekatkan diri kepada Allah, serta untuk mematuhi perintah-Nya. Kita cuci tangan kita, kita berkumur-kumur, kita basuh muka kita dan kedua tangan kita, lalu kita seka kepala kita dan kedua telinga kita, terakhir kita basuh kedua kaki kita. Semuanya kita lakukan sesempurna mungkin. Artinya, jangan sampai ada di antara anggota tubuh itu yang tidak terkena air wuduk dengan merata. Dan kita mengerjakannya beserta niat semoga segala dosa yang mungkin telah dikerjakan oleh anggota-anggota tubuh kita itu diampuni-Nya. Berwuduk seperti itulah yang dinyatakan Nabi saw. bahwa dosa-dosa pelakunya keluar dari bawah kuku jari-jarinya.
Kemudian kita berdiri menghadap-Nya. Bagaimanakah perasaan kita pada waktu itu? Di depan siapakah kita? Mungkinkah perasaan kita biasa-biasa saja, mengingat yang kita hadapi adalah pencipta, pemelihara, dan penentu nasib kita? Kita pasang niat kita mengerjakan salat itu, yaitu menyembah-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya. Kemudian kita akui keagungan-Nya dengan mengikrarkan, Allahu Akbar ‘Allah Mahabesar’.
Semua perbuatan dalam salat itu kita kerjakan sesempurna mungkin. Kita berdiri takzim, tanda kita mengagungkan-Nya. Kita rukuk dengan tulus, tanda kita tunduk sepenuhnya kepada-Nya. Kita sujud dengan dalam, tanda kita bersumpah bahwa kita akan setia menjalankan perintah-Nya. Kita “duduk hormat” pertama antara dua sujud dengan sikap sempurna untuk bermohon kepada-Nya. Kita ulangi perbuatan itu sebanyak dua, tiga, atau empat kali sesuai rakaat salatnya. Kemudian kita akhiri salat kita dengan “duduk hormat” kedua, sambil menyampaikan pujian kepada-Nya, salam dan hormat kita kepada Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim, dan doa kita kepada kaum muslimin.
Semua bacaan di dalamnya kita pahami dan hayati. Kita ikrarkan bahwa salat, pengorbanan, hidup, dan mati kita hanya demi Dia. Kita puji Dia sampai puncak pujian, karena memang Ia yang pantas menerima pujian itu. Kita tegaskan kepada-Nya bahwa Ia Mahakuasa dan Mahaagung. Kita memohon keampunan dosa kita, kasih sayang-Nya, martabat diri kita, rezeki kita, jalan hidup kita, kesehatan kita, dsb. Dan kita ikrarkan salam hormat kita kepada-Nya. Lalu kita tutup salat kita dengan doa bagi kawan-kawan kita di sekeliling kita. Semua ucapan kita kita ikrarkan dengan penuh khusyuk, yaitu keluar dari hati yang tulus dan memohon rida dan penerimaan-Nya.
Salat itu kita kerjakan lima kali dalam sehari. Dan kita mengerjakannya di awal waktu, karena salat di awal waktu adalah puncak kebaikan.
Fungsi salat menahan manusia dari berbuat yang tidak baik (29:45). Fungsi itu pasti efektif mengingat kedekatan dan ikrar manusia kepada Tuhan itu. Dan doa manusia itu pasti dikabulkan (14:34). Dengan demikian salat menjamin manusia baik. Karena itu bila di Indonesia budaya korupsi semakin hebat, itu tanda pelaksanaan salatnya yang belum benar, bukan salah salatnya. (Prof. Dr. H. Salman Harun)

CIRI KEDUA ORANG TAKWA: SALAT, YANG MENJAMIN MANUSIA MENJADI BAIK

“Dan mendirikan salat,” (2:3).
Mendirikan salat adalah ciri kedua orang yang takwa. “Mendirikan” sesuatu adalah menegakkannya sekukuh-kukuhnya sehingga tidak goyah sedikit pun. Mendirikan salat maksudnya melaksanakannya sesempurna-sempurnanya. Itu sudah dimulai dari wuduk, dan meliputi tatacaranya, bacaannya, sikapnya, waktunya, dsb.
Wuduk dimulai dengan mensucikan diri dari kotoran, terutama dua tempat keluar kotoran itu. Selanjutnya berniat bahwa kita berwuduk itu semata-mata untuk membersihkan diri kita, mensucikannya dari dosa, dan guna mendekatkan diri kepada Allah, serta untuk mematuhi perintah-Nya. Kita cuci tangan kita, kita berkumur-kumur, kita basuh muka kita dan kedua tangan kita, lalu kita seka kepala kita dan kedua telinga kita, terakhir kita basuh kedua kaki kita. Semuanya kita lakukan sesempurna mungkin. Artinya, jangan sampai ada di antara anggota tubuh itu yang tidak terkena air wuduk dengan merata. Dan kita mengerjakannya beserta niat semoga segala dosa yang mungkin telah dikerjakan oleh anggota-anggota tubuh kita itu diampuni-Nya. Berwuduk seperti itulah yang dinyatakan Nabi saw. bahwa dosa-dosa pelakunya keluar dari bawah kuku jari-jarinya.
Kemudian kita berdiri menghadap-Nya. Bagaimanakah perasaan kita pada waktu itu? Di depan siapakah kita? Mungkinkah perasaan kita biasa-biasa saja, mengingat yang kita hadapi adalah pencipta, pemelihara, dan penentu nasib kita? Kita pasang niat kita mengerjakan salat itu, yaitu menyembah-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya. Kemudian kita akui keagungan-Nya dengan mengikrarkan, Allahu Akbar ‘Allah Mahabesar’.
Semua perbuatan dalam salat itu kita kerjakan sesempurna mungkin. Kita berdiri takzim, tanda kita mengagungkan-Nya. Kita rukuk dengan tulus, tanda kita tunduk sepenuhnya kepada-Nya. Kita sujud dengan dalam, tanda kita bersumpah bahwa kita akan setia menjalankan perintah-Nya. Kita “duduk hormat” pertama antara dua sujud dengan sikap sempurna untuk bermohon kepada-Nya. Kita ulangi perbuatan itu sebanyak dua, tiga, atau empat kali sesuai rakaat salatnya. Kemudian kita akhiri salat kita dengan “duduk hormat” kedua, sambil menyampaikan pujian kepada-Nya, salam dan hormat kita kepada Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim, dan doa kita kepada kaum muslimin.
Semua bacaan di dalamnya kita pahami dan hayati. Kita ikrarkan bahwa salat, pengorbanan, hidup, dan mati kita hanya demi Dia. Kita puji Dia sampai puncak pujian, karena memang Ia yang pantas menerima pujian itu. Kita tegaskan kepada-Nya bahwa Ia Mahakuasa dan Mahaagung. Kita memohon keampunan dosa kita, kasih sayang-Nya, martabat diri kita, rezeki kita, jalan hidup kita, kesehatan kita, dsb. Dan kita ikrarkan salam hormat kita kepada-Nya. Lalu kita tutup salat kita dengan doa bagi kawan-kawan kita di sekeliling kita. Semua ucapan kita kita ikrarkan dengan penuh khusyuk, yaitu keluar dari hati yang tulus dan memohon rida dan penerimaan-Nya.
Salat itu kita kerjakan lima kali dalam sehari. Dan kita mengerjakannya di awal waktu, karena salat di awal waktu adalah puncak kebaikan.
Fungsi salat menahan manusia dari berbuat yang tidak baik (29:45). Fungsi itu pasti efektif mengingat kedekatan dan ikrar manusia kepada Tuhan itu. Dan doa manusia itu pasti dikabulkan (14:34). Dengan demikian salat menjamin manusia baik. Karena itu bila di Indonesia budaya korupsi semakin hebat, itu tanda pelaksanaan salatnya yang belum benar, bukan salah salatnya. (Prof. Dr. H. Salman Harun)

Sabtu, 17 Januari 2009

Tafsir 2:3a CIRI PERTAMA ORANG TAKWA: IMAN, YANG MEMBAWA KESELAMATAN

CIRI PERTAMA ORANG TAKWA: IMAN, YANG MEMBAWA KESELAMATAN

“(Yaitu) Mereka yang beriman kepada yang ghaib,’ (2:3a)
Ayat ini menjelaskan ciri orang yang takwa, menerangkan ayat sebelumnya.
Ciri pertama orang yang takwa adalah “beriman kepada yang ghaib”. Beriman adalah percaya, yang berbeda dari mengindera dan berpikir. Mengindera adalah melihat, mendengar, mencium, merasa, obyeknya konkret, yaitu dunia empiris. Berpikir adalah memeras otak untuk memahami suatu persoalan, obyeknya abstrak. Sedangkan beriman adalah mempercayai informasi, yang sumbernya adalah wahyu.
Jadi, sumber pengetahuan itu tiga: pancaindera, pikiran, dan wahyu. Apa yang tidak teridera oleh pancaindera tidak berarti tidak ada, bila pikiran membenarkannya, misalnya konsep, nilai, paham, dsb. Dan apa yang tidak terindera oleh pancaindera atau tidak diterima oleh akal tidak berarti tidak ada atau salah, bila wahyu memberitakannya. Itulah yang yang ghaib. Yang ghaib adalah segala yang tidak terindera oleh pancaindera, tetapi dapat diketahui oleh pikiran atau diinformasikan oleh wahyu, misalnya Tuhan, hidup setelah mati, surga dan neraka, dsb. Hidup sesudah mati, misalnya, sulit diterima akal, karena bagaimana mungkin manusia yang sudah hancur lebur tinggal tulang belulang kering, bisa hidup kembali. Tetapi itu benar sebenar-benarnya karena wahyu memberitakannya.
Yang ghaib yang diberitakan oleh wahyu itu tidak berarti tidak menggunakan indera dan pikiran untuk membuktikannya. Al-Qur’an, misalnya, meminta manusia untuk menggunakan mata kepala, mata pikiran, dan mata hati (itulah kiranya pengertian yanzhurun) untuk melihat, bagaimana kejadian unta, luasnya kosmos, kokohnya gunung, dan terhamparnya bumi, sehingga manusia dapat diam di bumi ini dengan baik. Setelah itu manusia perlu mengambil pelajaran tentang adanya Tuhan yang menciptakan semuanya itu (88:17-22). Oleh karena itu iman tidak berarti menerima mentah-mentah begitu saja. Iman perlu dibantu oleh indera dan pikiran.
Karena iman dibantu oleh indera dan pikiran, sedangkan indera dan pikiran itu terbatas, maka apa yang bisa dicapai dengan iman itu juga terbatas. Oleh karena itu apa yang diimani oleh manusia tentang Tuhan, kehidupan akhirat, surga dan neraka, dsb. tidak akan sama dengan kenyataannya nanti. Apa yang akan kita saksikan dan peroleh nanti akan mahahebat dan mahadahsyat daripada apa yang kita bayangkan dan pikirkan sekarang. Itulah iman, dan sikapnya adalah percaya dan menunggu.
Iman kepada yang ghaib akan membawa manusia ke dalam cakrawala yang mahaluas, mahatinggi, dan mahaagung yang tak terperkirakan. Dengan demikian manusia menjadi makhluk yang begitu luar biasa luas konsepsi dan persepsinya. Itulah keistimewaannya. Tanda orang kafir, kata Muhammad Iqbal, adalah bahwa ia hilang di dalam cakrawala, tanda orang mukmin adalah bahwa cakrawala hilang di dalam dirinya (Rahman/1983:33).
Tanda orang iman adalah bahwa Tuhan baginya segala-galanya. Ia akan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dunia sifatnya sementara, sedangkan yang abadi adalah akhirat. Karena itu dunia baginya bukan tidak berarti, namun bukan pula tujuan, tetapi perantara. Ia ingin menguasai sebaik-baiknya dunia ini, supaya ia dapat mengantarainya untuk menguasai akhirat yang sebaik-baiknya pula. Karena itu ia akan mengelola alam ini sesuai dengan etika yang digariskan-Nya Dengan demikian orang yang iman akan menciptakan kebaikan dan keselamatan di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, orang yang kafir akan memandang dunia ini segala-galanya, karena, “Begitulah tingkat ilmu mereka,” tegas Al-Qur’an (53:30). Yang dihasilkan sikap seperti itu hanyalah kerusakan. (Prof. Dr. H. Salman Harun, UIN Jakarta)

Rabu, 14 Januari 2009

Tafsir 2:2b AL-QUR’AN MENCIPTAKAN GENERASI UNGGUL

3. AL-QUR’AN MENCIPTAKAN GENERASI UNGGUL

“Tidak ada keraguan padanya,” (2:2b).
Al-Qur’an tidak diragukan dari segi apa pun. Pertama, dari segi sumbernya, yaitu Allah swt. Siapakah yang meragukan Allah? Ia ada, tetapi tidak terindera. Ia Mahabenar sehingga disebut al-Haqq ‘Yang Mahabenar’ baik Zat-nya, sifat-Nya, maupun ucapan-Nya.
Semua firman Allah terhimpun dalam Lauh Mahfuz ‘Lempeng yang Terjaga’. Semua firman Allah masuk ke dalam Lempeng itu. Volume Lempeng itu dilukiskan Al-Qur’an, “Bila lautan dijadikan tinta dan semua pohon dijadikan pena, maka sudah habis semua lautan itu lalu ditambah dengan lautan sebanyak itu lagi, maka firman Allah belum akan habis dituliskan,” (18:109). Al-Qur’an cukup dengan satu botol tinta dituliskan. Dengan demikian Al-Qur’an hanya sebagian kecil firman Allah tsb.
Firman Allah terjaga di Lauh Mahfuz karena dilindungi oleh sistem pengamanan yang ketat. Dalam Al-Qur’an sistem pengamanan itu dilukiskan, bahwa bila ada di antara syaitan yang mendekati “gudang” itu, untuk menyabotasenya, maka ia akan ditembak dengan panah-panah api (72:27), sehingga ia tidak akan dapat mengganggunya.
Kedua, Al-Qur’an tidak diragukan dari segi pembawanya dari Lauh Mahfuz kepada Rasul Allah, yaitu Jibril. Malaikat ini diberi predikat, al-Ruh al-Amin ‘Ruh yang Sangat Terpercaya’ (26:193). Berarti ia jujur sejujur-jujurnya, sehingga apa saja firman Allah yang diperintahkan-Nya untuk disampaikan, disampaikannya tanpa mengorupsinya sedikit pun.
Jibril juga dinamakan Syadid al-Quwa ‘Yang Dahsyat Kekuatannya’. Bila ada syaitan yang ingin menyabotase firman itu, hal itu tidak akan terjadi, karena Jibril itu begitu perkasanya. Ia adalah penghulu para malaikat, dan segala malaikat takut kepadanya. Karena itu wahyu pasti sampai kepada seorang rasul dengan aman.
Ketiga, dari segi penerimanya, yaitu Nabi Muhammad saw. Masyarakat sudah mengenal siapa sukunya, nenek moyangnya, dan orang tuanya. Bagaimana akhlaknya semenjak kecil juga sudah dikenal mereka, sehingga mereka menggelarinya al-Amin ‘Yang Amat Jujur’.
Keempat, dari segi pelestariannya. Sebagaimana sudah disinggung, Al-Qur’an masuk ke dalam hati sanubari Nabi. Nabi membacakannya kepada para sahabat, lalu mereka hafalkan dan tuliskan. Pada zaman Abu Bakar Siddiq, Al-Qur’an dihimpun dalam satu mushaf, dasarnya hafalan dan tulisan itu. Pada zaman Usman bin Affan, Al-Qur’an disalin beberapa buah dan dikirim ke daerah-daerah Islam. Al-Qur’an kemudian disalin dan disalin lagi sehingga tersebar luas, apalagi setelah mesin cetak ditemukan.
Dan kelima, dari segi isinya. Al-Qur’an mengandung ajaran-ajaran pokok mengenai seluruh segi kehidupan manusia: mental, ekonomi, politik, sosial, budaya, dll. Ajaran-ajaran itu berisi tuntunan bagi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan umat manusia. Dan ajaran-ajaran itu cocok diterapkan pada segala tempat dan waktu, serta menjamin kebahagiaan manusia di dunia ini dan di akhirat nanti.
Al-Qur’an tidak diragukan, ia kukuh dari segala seginya. Penganut yang mengi-mani dan menjalankan ajarannya seharusnya juga kukuh dan tidak diragukan kepribadi-annya. Penganutnya seharusnya menjadi generasi unggul dari generasi ke generasi. Bila tidak tercipta penganut seperti itu, tanda bahwa penganut belum melaksanakan ajaran Kitab itu dengan sebenar-benarnya. (Prof. Dr. H. Salman Harun, UIN Jakarta)

Selasa, 13 Januari 2009

Tafsir 2:2c Al-Qur'an Mewujudkan Manusia Baik

4. AL-QUR’AN MENJAMIN TERWUJUDNYA MANUSIA BAIK

“Hidayah bagi orang-orang takwa,” (2:2c).
Hidayah adalah pedoman dan jalan kehidupan (way of life). Al-Qur’an sebagai pedoman kehidupan yaitu memfungsikan Kitab itu sebagai penuntun kehidupan. Kitab itu didalami, kemudian diimani, lalu dijadikan landasan segala tindakan, artinya berfungsi sebagai kompas bagi kehidupan. Dalam hal ini manusia mampu melakukannya, apalagi nabi, yaitu menunjukkan jalan kebenaran kepada manusia, artinya menerangkan dengan sebaik-baiknya maksud Al-Qur’an.
Al-Qur’an sebagai jalan kehidupan adalah menjalankan segala ajaran dalam Kitab itu. Dalam hal ini Allah menegaskan bahwa hanya Dia yang mampu memasukkan iman itu ke dalam hati manusia dan menggerakkannya untuk melaksanakannya.
Salah satu bentuk hidayah Allah kepada manusia adalah diberi-Nya mereka indera serta pikiran dan hati sanubari (16:78), dengan semuanya itu manusia mampu menemukan kebenaran untuk memperoleh keselamatan di dunia dan di akhirat.
Indera dan pikiran serta hati sanubari itu perlu difungsikan untuk mendalami ayat-ayat-Nya yang tersirat yaitu alam semesta ini, dari yang sekecil-kecilnya seperti virus dan atom sampai yang sebesar-besarnya seperti planit dan kosmos, bahkan diri manusia itu sendiri. Semua ciptaan Allah itu kokoh strukturnya dan sifat-sifatnya, dan tidak mungkin ada dengan sendirinya. Manusia, jangankan untuk menciptakan semuanya itu, menciptakan sebutir pasir saja dari tiada ia tidak mampu. Yang dilakukannya “hanya” merekayasa ciptaan Allah itu. Oleh karena itu pemungsian indera dan pikiran serta hati sanubari terhadap ciptaan Allah itu seharusnya membawa kepada iman.
Di samping ayat Allah yang tersirat, terdapat ayat-ayat-Nya yang tersurat, yaitu wahyu-Nya yang terhimpun dalam kitab suci. Indera dan pikiran serta hati sanubari juga perlu dihadapkan kepada wahyu itu. Wahyu itu juga kokoh struktur dan sifat-sifatnya, bahkan lebih kokoh lagi dari struktus dan sifat-sifat alam semesta ini (59:21). Dengan mempelajari Al-Qur’an yang kokoh dan mutlak benar itu, manusia seharusnya beriman.
Allah telah memberi manusia indera dan pikiran serta hati sanubari yang mampu menemukan kebenaran, tetapi Allah masih menurunkan wahyu-Nya Tidak percayakah Tuhan kepada manusia?
Bukan tidak percaya! Tetapi karena manusia terdiri atas tubuh dan roh. Tubuh karena diciptakan dari tanah selalu menarik manusia ke bawah, kepada dosa. Roh, karena berasal dari-Nya yang berada di “atas”, selalu menarik kepada keluhuran. Tergantung manusia apakah ia akan mengikuti ajakan tanah atau ajakan roh (18:29). Allah menghendaki agar manusia meyeimbangkan antara keduanya (91:8).
Namun tidak semua orang memiliki indera yang sensitif, pikiran yang tajam, dan hatisanubari yang murni untuk mengambil pelajaran dari dunia empiris. Yang sering terjadi justru bahwa informasi dari indera, analisis pikiran, dan pertimbangan hati sanubari kalah oleh godaan nafsu. Hal itu karena “turun ke bawah”, mengikuti nafsu, lebih mudah, karena tidak memerlukan energi, sedangkan “naik ke atas”, kepada keluhuran, memerlukan energi yang besar. Untuk itulah Allah menurunkan hidayah berupa wahyu
Hidayah itu diperuntukkan bagi yang takwa. Orang yang takwa adalah orang yang terbimbing oleh imannya. Mengapakah Al-Qur’an hanya diperuntukkan bagi yang takwa? Karena wahyu itu seperti kompas, hanya orang yang tahu dan percaya kompas itu yang mau menggunakannya. Yang tidak percaya mengabaikannya, tetapi itu disayangkan karena lautan kehidupan begitu luasnya dan ombaknya begitu ganasnya. Dengan demikian hidayah itu tidak ditunggu, tetapi dicari, diterima, dan dijalankan. (Prof. Dr. H. Salman Harun, UIN Jakarta).

Senin, 12 Januari 2009

Tafsir 2:2a MENINGKATKAN KEMANUSIAAN DAN PERADABAN

MENINGKATKAN KEMANUSIAAN DAN PERADABAN

“Itu adalah al-Kitab” (2:1), maksudnya, “Itu adalah Al-Qur’an”.
Banyak nama Al-Qur’an, di antaranya “Al-Qur’an” dan “Al-Kitab” itu. Dinamai “Al-Qur’an” untuk menekankan segi terinternalisasinya teks dan pesan teks itu di dalam hati sanubari mereka yang mengimaninya, sesuai makna harfiyah qara’a-yaqra’u-qira’atan “menginternalisasikan di dalam sanubari”. Internalisasi teks adalah hafal, dan internalisasi pesan adalah menjalankanya ajaran-ajarannya. Memang demikianlah yang terjadi dalam sejarah. Banyak di kalangan umat Islam mereka yang hafal Al-Qur’an, dan dari segi pelaksanaan ajaran-ajarannya, banyak yang sudah mematuhinya di samping banyak pula yang masih mengabaikannya,.
Dinamai “Al-Kitab” untuk menekankan segi tertulis Kitab itu. Al-Qur’an sudah ditulis pada zaman Nabi saw., oleh beberapa penulis wahyu. Tulisan-tulisan itu disimpan di rumah Ibunda “Aisyah, dan belum dihimpun dalam satu kitab sampai akhir hayat Nabi saw. Pada zaman Khalifah pertama, Abu Bakar Siddiq, tujuh puluh penghafal Al-Qur’an tewas dalam suati peperangan melawan pemberontakan orang-orang murtad, Di samping itu Al-Qur’an menyebut kumpulan wahyu nabi-nabi sebelumnya “Kitab”. Adalah karena banyaknya penghafal Al-Qur’an yang tewas, kejeliannya melihat Kitab-kitab sebelumnya yang berbentuk tertulis itu, serta kesucian jiwanya, karena itulah kiranya mengapa Umar bin Khattab mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar Al-Qur’an dibukukan. Mereka sempat berdebat mengenai hal itu, karena Nabi saw. tidak perah memerintahkannya. Akhirnya Abu Bakar menerima usul itu. Pada zaman Khalifah Usman bin Affan, Al-Qur’an itu disalin beberapa buah dan dikirim ke kota-kota daerah Islam. Setelah itu Al-Qur’an terus disalin dan disalin lagi. Maka tersebarlah Al-Qur’an secara luas, apalagi setelah ditemukannya mesin cetak..
Dua nama Al-Qur’an itu mempresentasikan dua aspek aktualisasinya, yaitu internalisasi dan eksternalisasi ajaran-ajarannya. Internalissi ajaran Al-Qur’an, sebagaimana pernah disinggung, akan terus-menerus meningkatkan kemanusiaan, dan eksternalisasinya akan terus menerus meningkatkan peradaban.
Allah menunjuk Al-Qur’an dengan kata, “itu.” Berarti bahwa Allah jauh dan Al-Qur’an itu sudah berada di tengah manusia. Memang Allah dari satu segi amat jauh (transcendent) sehingga tidak terjangkau tangan, tidak terindera mata, tidak terdengar telinga, bahkan terbayang oleh hati dan pikiran pun tidak. Anda boleh mempersepsikan Tuhan, tetapi Ia bukan seperti yang Anda persepsikan itu. Dengan demikian mencari dan mendekati Tuhan itu berlangsung sepanjang hayat. Dan dengan demikian pengembangan kemanusiaan dan peradaban itu tanpa batas dan tanpa akhir.
Di pihak lain, Allah amat dekat (immanent), sampai begitu dekatnya, sehingga lebih dekat dari hati atau nyawa kita sendiri. Dengan dekatnya Tuhan, berarti bahwa ajaran-ajaran-Nya dapat diwujudkan. Dengan demikian Al-Qur’an dapat dibumikan sehingga semakin meningkatkan kemanusiaan dan peradaban itu.
Islam dalam sejarahnya pernah menjadi menyumbangkan kemanusiaan dan peradaban yang begitu tinggi, sedangkan Barat waktu itu masih gelap gulita. Pada era berikutnya konstelasi terbalik, Barat yang maju kaum muslimin tertinggal jauh, sampai sekarang. Karena itu setiap orang dari generasi umat Islam sekarang patut merenungkan, mengapa terjadi demikian, mengingat Al-Qur’an yang dipedomani sama! (Prof. Dr. H. Salman Harun, UIN Jakarta)

Rabu, 07 Januari 2009

MENGHINDAR DARI ORANG-ORANG BERGAJUL

MENGHINDAR DARI ORANG-ORANG BERGAJUL

Oleh

Prof. Dr. H. Salman Harun


Kemarin ada mahasiswa dalam kelas bertanya, “Kalau orang bergajul dihindari, ia akan semakin menjadi-jadi, Pak”

Mahasiswa itu bertanya tentang maksud Surah al-A’raf/7:199 yang artinya, “Ambillah kemaafan, mintalah berbuat makruf, dan menghindarlah dari orang-orang bergajul.”

Ayat itu berbicara tentang orang-orang kafir Makkah yang menyembah berhala. Mereka salah, masak berhala dianggap Tuhan. Terhadap mereka, Nabi diminta oleh Allah untuk menyikapi dengan banyak memberikan maaf, karena mereka belum mengerti. Juga menyikapinya dengan bertindak wajar (‘urf itu adalah sesuatu yang lumrah dikerjakan, tidak aneh-aneh). Artinya Nabi diminta agar bertindak wajar, tidak kasar, patah hati atas pembangkangan mereka, dsb.

Namun ada sekelompok mereka yang jahilin. Jahil maknanya bukan bodoh dalam arti dungu. Zaman jahiliyah, misalnya, bukan berarti orang-orangnya bodoh. Justru zaman jahiliyah adalah zaman kemajuan sastra dan ekonomi. Yang dimaksud dengan jahilin adalah orang yang tidak berakhlak, pandangan picik, dan tindakan jahat dipandang dari sudut norma-norma agama. Mereka lebih tepat disebut orang bergajul.

Nah, terhadap orang bergajul inilah kita harus menghindar. Orang bergajul pikirannya singkat. Di samping itu, ia tidak segan-segan mengambil tindakan pisik. Orang seperti itu, bila disikapi dengan kedua sikap di atas tidak akan mempan. Yaitu, bila terus-menerus diberi maaf, ia akan menjadi-jadi. Bila dipergauli seperti biasa, ia akan tak tahu diri. Yang pantas bagi orang seperti itu adalah tindakan hukum. Jadi, orang bergajul, hindarilah secara wajar. Tetapi bila ia berbuat jahat, yang berbicara adalah hukum.

Ciputat, 7 - 1 - 9
Salman Harun

Selasa, 06 Januari 2009

PAKAIAN TAQWA LEBIH BAIK

PAKAIAN TAQWA LEBIH BAIK

Oleh

Prof. Dr. H. Salman Harun


Kemarin seorang mahasiswa di dalam kelas bertanya, apa maksud ayat yang terjemahannya, ”Wahai anak-anak Adam, Kami sungguh telah menurunkan pakaian kepada kalian yang menyembunyikan ketelanjangan-ketelanjangan kalian, dan juga bulu. Pakaian takwa itulah paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian ayat-ayat Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Surah al-A’raf/7:26). Apakah itu artinya bahwa kita boleh membuka aurat, asalkan kita takwa?

Dari ayat itu dipahami bahwa Allah telah menyiapkan tiga jenis pakaian bagi manusia: pakaian jasmani, bulu, dan pakaian takwa.

Allah telah menurunkan pakaian maksudnya telah menyediakan bahan-bahan untuk dibuat pakaian jasmani. Sau’at terambil dari akar kata su’ ‘jelek’: sau’at karena itu berarti sesuatu yang tidak pantas dilihat orang lain, yang diterjemahkan dengan “ketelanjangan-ketelanjangan”. Maksudnya adalah aurat. Dan yuwari maknanya adalah “menyembunyikan”, bukan sekedar menutup, karena membalut tubuh dengan pakaian tetapi pakaian itu ketat, misalnya, justru semakin menambah aurat itu tertonjol-tonjol. Dengan demikian guna pakaian tidak hanya sekedar menutup aurat, tetapi meredam dan menyembunyikan aurat-aurat, ketelanjangan-ketelanjangan, dan rahasia-rahasia kita, sehingga aurat itu tidak diketahui orang lain. Orang yang telanjang berarti tidak memiliki apa-apa lagi untuk dirinya.

Di samping pakaian yang berfungsi menutup aurat, Allah juga menyiapkan bulu untuk kita. Maksudnya perhiasan, baik berupa bulu atau lainnya seperti kulit, emas, berlian, dsb. Dengan demikian Allah menghendaki manusia tidak hanya berpakaian yang menyembunyikan aurat, tetapi juga memakai perhiasan, asesoris, dsb. Jelas pulalah bahwa Allah menghendaki manusia berpenampilan yang baik. Untuk itu terbukalah kesempatan untuk berkreasi, menciptakan mode supaya terlihat indah, dengan syarat utama: aurat tertutup dan tersembunyi. Dengan demikian jelaslah salahnya pandangan bahwa menutup aurat itu mematikan kreativitas.

Pakaian takwa adalah pakaian rohani, yaitu iman yang kukuh dan perbuatan-perbuatan baik. Pakaian takwa lebih baik tidak mungkin berarti bahwa boleh tidak menutup aurat dan yang penting adalah takwa. Memang ada pendapat seperti itu yang di antaranya dilontarkan orang ketika sedang maraknya tayangan ”ngebor” di stasiun-stasiun tv kita, dan muncul pula ketika mereka menentang RUU Pornografi dan Pornoaksi. Itu adalah pendapat serampangan, yang menunjukkan bahwa mereka tidak pernah belajar atau tidak pernah mendalami Al-Qur’an.

Pakaian takwa tidak mungkin berarti membolehkan membuka aurat. Pakaian jasmani itu dasar, mutlak, pakaian takwa lebih baik. Sesuatu ”yang lebih baik” tidak mungkin meniadakan ”dasar”. Bila kita katakan ”dua juta” lebih baik dari ”satu juta”, sudah pastilah bahwa satu juta termasuk dalam dua juta. Bila dikatakan BMW lebih baik dari Corolla, sudah pastilah mengandung perbandingan harga dan harga Corolla sudah masuk dalam harga BMW.

Pakaian takwa lebih baik maksudnya iman dan perbuatan baik lebih baik. Seseorang yang berpakaian menyembunyikan auratnya tetapi tidak takwa, maka pakaian jasmaniahnya itu akan segera copot begitu datang godaan. Seseorang yang berapapun besar sorbannya, tetapi tidak ada takwanya, maka sorban itu akan terpental begitu ada godaan. Seorang yang takwa adalah seorang yang beriman dan berbat baik, dan tanda imannya dan perbuatan baiknya adalah bahwa ia terlebih dahulu menyembunyikan auratnya, karena itu adalah dasar dan prasyarat mutlak takwa.

Jakarta, 7 – 1 – 9

Salman Harun

SEBAGIAN MAKNA HIJRAH DALAM AL-QUR’AN

SEBAGIAN MAKNA HIJRAH DALAM AL-QUR’AN
(Tafsir Surah al-Nisa’/4:97-100)
(Khutbah di Masjid Ibnu Umar, Bintaro, 2-1-9)
Oleh
Prof. Dr. H. Salman Harun


Ayat 97:
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, para malaikat bertanya, "Bagaimana kalian ini?" Mereka menjawab, "Kami dulu tertindas di bumi." Mereka (para malaikat) berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas, kalian dapat berhijrah di dalamnya?" Mareka itu tempatnya Jahannam, dan itulah tempat kembali yang paling buruk,”

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat”:

Setiap manusia, kalau begitu, pasti mati, tidak ada yang abadi di dunia. Dan yang mewafatkan itu malaikat, petugas Allah, bukan petugas manusia, karena itu pewafatan itu pasti terlaksana, karena malaikat itu tidak pernah berbuat curang. Cara pewafatannya dalam ayat lain (al-Anfal/8:50) disebutkan bahwa orang-orang yang berdosa sampai dipukuli muka dan pinggul mereka supaya ruh mereka keluar, karena ruh itu lari ke setiap sel-selnya yang paling kecil. Orang-orang yang baik-baik cukup ruhnya dipersilahkan meninggalkan jasadnya, ruh itu akan keluar dengan sukacita.

“Dalam keadaan menganiaya diri sendiri”
Yaitu berdosa, di antaranya tidak mau berhijrah. Kasusnya mengenai hijrah dari Makkah ke Madinah pada zaman Nabi saw. Setelah itu kasusnya diterapkan kepada siapa saja yang tidak mau berinisiatif mencari kebebasan, kemerdekaan, dsb., dan memperbaiki keadaan dari kondisi yang tidak/kurang baik kepada kondisi yang lebih baik lagi.

“Malaikat bertanya, "Bagaimana kalian ini?"
Pertanyaan itu isyarat bahwa yang bersangkutan tidak orang baik. Bila orang itu baik tentu malaikat akan menyapanya dengan salam.

“Mereka menjawab, ‘Kami dulu tertindas di bumi (Mekah).’
Mustadh’afin makna harafiyahnya adalah “mereka yang dibuat tak berdaya”. Setiap manusia diberi oleh Allah energi, kekuatan, dan kemampuan. Bila manusia lemah, itu tanda ada unsur luar yang membuatnya lemah, dan itu harus diatasi.

“Mereka (para malaikat) berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, kalian dapat berhijrah di dalamnya?’

Tertindas dengan demikian tidak dapat dijadikan alasan untuk lemah. Ketertindasan secara politik, ekonomi, sosial, dsb. tidak boleh didiamkan, tetapi harus diatasi. Caranya: migrasi. Bila tidak migrasi, membebaskan diri dari ketertindasan itu.

”Mereka itu tempatnya Jahannam, dan itulah tempat kembali yang paling buruk,”
Jahannam adalah neraka yang paling dalam, karena itu tentu amat dahsyat. Tidak mau migrasi atau berusaha membebaskan diri dari ketertindasan, jangan dikira akan dikasihani Allah. Justru dihukum dengan hukuman yang paling berat.

Ayat 98:
Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah),

Yang perlu diselamatkan tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan dan anak-anak. Ketertindasan baru dapat dimaafkan bila semua mereka itu memang tidak mampu bergerak karena sakit atau sangat berbahaya. Atau sudah berusaha tetapi tidak menemukan celah untuk jalan keluar.

Ayat 99:
”Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.


Ungkapan ”mudah-mudahan” mengandung arti bahwa upaya mengatasi kesulitan sangat diperlukan. Allah hanya akan menerima penyerahan bila yang bersangkutan betul-betul telah berusaha terlebih dahulu mengatasi kesulitan.

Ayat 100:
Siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat keberhasilan yang banyak dan rezki yang luas. Siapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, maka sungguh pahalanya telah ada di sisi Allah. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat keberhasilan yang banyak dan rezki yang luas.

Tempat baru akan lebih menjanjikan: dakwah akan lebih lancar dan rezeki akan lebih banyak, sebagaimana dibuktikan oleh Nabi saw. dengan hijrah ke Madinah.

Siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, maka sungguh pahalanya telah ada di sisi Allah.

Begitu ia melangkah ke luar rumahnya, pahala itu sudah diberikan Allah. Bila ia meninggal pada saat itu, ia masuk surga. Jadi, yang dilihat Allah adalah upaya, tidak hanya hasil. Begitulah kemahapengampunan dan kemahapengasihan Allah.


Salman Harun

PERINTAH BERPERANG KEPADA NABI SAW.

PERINTAH BERPERANG KEPADA NABI SAW.
(Tafsir Surah al-Nisa’/4:84-87)
(Bahan ceramah di PSQ Ciputat}

Prof. Dr. H. Salman Harun


Ayat 84:
Maka berperanglah engkau pada jalan Allah, tidaklah engkau dibebani melainkan dengan kewajibanmu sendiri.

Perlu terlebih dahulu digarisbawahi bahwa perang dalam Islam seluruhnya dalam rangka membela diri (defensif) (S. 2:190). Berperang melawan musuh sesungguhnya tugas seorang pemimpin, bila perlu ia sendiri menghadapinya. Dengan demikian seorang pemimpin harus seorang yang kuat dan berani.

Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang).
Supaya ia tidak berperang sendiri dan supaya kemenangan dapat dicapai, seorang pemimpin harus mampu menggerakkan masyarakat.

Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya).
Berdasarkan kemampuan seorang pemimpin dan partisipasi masyarakat itulah Allah memberikan kemenangan, yang menunjukkan bahwa kedua faktor itu sangat menentukan.

Ayat 85:
Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya.
Syafaat adalah upaya memediasi untuk membantu mencarikan jalan keluar bagi orang yang dalam kesulitan agar orang itu dapat melaksanakan kewajibannya atau terlepas dari bahaya.
Mediasi dalam kasus ini adalah mencarikan jalan keluar bagi orang-orang yang tidak memiliki biaya yang cukup untuk ikut perang, dengan menghubungi orang-orang yang memiliki kemampuan. Dalam hal seperti itu, baik yang membantu maupun yang menjadi mediator memperoleh pahala. Jadi, di sini peran mediator, negosiator, dan pendukung di garis belakang sangat dihargai.

Dan barangsiapa memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul ganjarannya.
Sebaliknya, seorang yang menjadi mediator untuk melemahkan pasukan Islam mendapat ganjaran dosa. Kasusnya dalam ayat ini adalah orang-orang yang menjadi perantara dari orang-orang yang ingin tidak ikut perang (Badar), agar Nabi saw mengizinkan mereka. Mediasi seperti itu berdosa.

Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Allah Maha Penjaga dan Maha Pemelihara segala sesuatu, yaitu menjamin diterimanya imbalan oleh orang yang berbuat baik, dan diterimanya ganjaran oleh yang berbuat jahat.

Ayat 86:
Apabila kalian dihormati dengan suatu penghormatan, maka hormatilah dengan (penghormatan) yang lebih baik, atau kembalikan (dengan yang serupa)

Arti harfiyah hayya adalah ”memberi kehidupan”. Maksudnya memberi penghormatan, karena penghormatan itu seakan-akan memberikan kehidupan bagi yang menerimanya. Penghormatan itu dalam konteks ayat ini adalah mengucapkan salam, assalamu'alaikum. Salam adalah doa keselamatan tidak hanya untuk hidup di dunia tetapi juga untuk di akhirat. Dengan demikian ucapan salam tak ternilai harganya, karena itulah perlu dibalas dengan yang lebih baik, yaitu assalamu ’alaikum warahmatullah (wa barakatuhu).
Jadi, dalam peperangan yang kalah perlu dihormati, dan orang yang telah mengucapkan salam tidak boleh diperangi (4:94), karena itu adalah tanda penyerahannya dan ketundukannya.

Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.
Allah Maha Penghitung: cepat dan akurat, dan membalasinya dengan tepat, cepat, dan akurat pula.

Ayat 87:
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.
Allah Yang maha penghitung itu adalah Allah yang Maha segala-galanya, yang mengetahui apa pun perbuatan manusia dan hanya Ia yang mampu membalasi dan mengganjarnya. Karena itulah hanya Ia yang patut dipertuhan dan dipatuhi perintah dan larangan-Nya,

Sesungguhnya dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya.
Allah akan menghimpun manusia nanti di akhir usia dunia dan mulainya kehidupan akhirat. Peristiwa itu pasti karena Allah Mahakuasa dan tidak bohong. Manusia perlu mempersiapkan dirinya dengan mematuhi perintah-Nya semasa hidup di dunia, di antaranya dengan melawan musuh yang menyerang, menghormati yang setia, dan memberi sanksi yang tidak setia.

Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ?
Pengetahuan manusia terbatas karena itu ucapan manusia terbatas pula kebenarannya. Allah pengetahuan-Nya melampaui ruang dan waktu, karena itu kebenaran firman-Nya melampaui ruang dan waktu itu. Oleh karena itu patuhilah semua perintah-Nya dan larangan-Nya, jangan ragukan adanya Hari Akhirat, dan siapkanlah diri menghadapinya di antaranya dengan kesiapan membela diri dalam menghadapi penyerang.

Kesimpulan:
Di antara etika peperangan:
1. Pemimpin bertanggung jawab atas kekalahan atau kemenangan
2. Yang dipimpin harus menjawab seruan pemimpin dan mematuhinya
3. Pasukan itu tidak hanya yang berada di garis depan, tetapi juga ”pasukan belakang”, yang terdiri tenaga-tenaga ahli, politikus, negosiator, mediator, dsb.
4. Yang menang tidak boleh semena-mena tetapi menghormati yang kalah
5. Kematian adalah gerbang kehidupan baru yang abadi di akhirat. Manusia harus berjuang dalam hidupnya di dunia, buah perjuangannya itulah yang akan diterimanya nanti di akhirat.

Ciputat, 3 Desember 2008