Jumat, 10 Agustus 2012

KESEWENANG-WENANGAN

-->
KESEWENANG-WENANGAN:
Bolehkah Membela Diri?

           
            Kekejaman dan pengusiran yang dialami oleh manusia jelas merupakan perkosaan atas hak-hak asasi manusia (HAM). Menghadapi hal itu Islam memiliki sejumlah ajaran, di antaranya Q. 22:39-40:
39. Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena mereka sungguh-sungguh telah dianiaya. Dan sungguh Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu,
40. (Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari negeri mereka tanpa alasan yang benar selain hanya karena mereka berkata, "Tuhan kami adalah Allah". Dan sekiranya Allah tidak membela sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah wihara-wihara, gereja-gereja, sinagog-sinagog, dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah, telah dirobohkan. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa,
               Ayat 39 merupakan izin pertama bagi umat Islam untuk berperang, setelah selama ini mereka harus menahan diri sekalipun sampai terusir dari kampung halaman mereka (Makkah), dan hijrah ke Madinah untuk menyelamatkan diri dan agama mereka. Syarat diperbolehkannya mengangkat senjata itu adalah “bahwa mereka dizalimi”, jadi dalam rangka defensif sebagai upaya terakhir bukan untuk ofensif. Jangan takut membela diri itu, karena Allah akan membantu. Hal itu sekaligus merupakan pesan kepada agresor bahwa kekejaman dan ketiranian mereka akan dihadapi langsung oleh Tuhan Yang Mahakuasa, karena itu mereka akan kalah.
            Ayat 40 menjelaskan bentuk kezaliman yang dialami yang atas dasar itu izin untuk meembela diri diberikan: “diusir dari rumah atau negeri mereka tanpa dasar yang benar”. “Diusir” adalah puncak penindasan setelah terlebih dahulu mengalami berbagai macam kekejaman sehingga yang tertindas tidak tahan lagi lalu meninggalkan kampung halamannya. Penindasan tidak ada alasan apa pun untuk membenarkannya. Apalagi bila alasannya adalah perbedaan agama, karena kebebasan beragama merupakan hak asasi yang paling dasar yang diberikan Tuhan melekat pada diri manusia.      
            Penindasan yang latar belakangnya bermuatan agama adalah puncak kekejaman, oleh karena itu tidak bisa lagi dibiarkan. Oleh karena itulah Allah akan “membela sebagian dengan sebagian”. Maksudnya: Allah akan turun tangan membela yang ditindas dengan memunculkan sikap penentangan dari pihak lain karena penindasan itu bertentangan dengan hati nurani manusia. Ayat ini ditujukan kepada umat Islam. Oleh karena itu ayat ini sebenarnya sekaligus mengandung pesan pula kepada umat Islam agar berada terdepan dalam kelompok “sebagian” yang membela yang tertindas itu. Perjuangan mereka akan dibantu Allah, artinya akan memperoleh kemenangan. Hukum membantu perjuangan itu paling kurang fardhu kifayah. Membantu perjuangan untuk melepaskan diri dari penindasan balasannya adalah surga. Tetapi bila tidak ada yang membantu maka semua mereka masuk neraka.
            Bila tirani dibiarkan dan tidak ada yang membantu yang ditindas, maka “wihara-wihara, gereja-gereja, sinagog-sinagog, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah, telah dirobohkan”. Itu adalah puncak pemerkosaan hak-hak asasi manusia. Sebelumnya pasti sudah terjadi perkosaan atas hak berpendapat sehingga aspirasi politik mereka diberangus, hak bermata pencaharian sehingga bahkan pemilikan mereka dirampas, hak pendidikan sehingga mereka dikondisikan untuk tetap dalam kebodohan, dan hak untuk hidup sehingga dengan mudahnya nyawa mereka dihilangkan. Bila semua pelanggaran itu terus dibiarkan maka tirani akan melangkah lebih lanjut: melarang kebebasan beragama, bahkan akan menghancurkan rumah-rumah ibadat tempat nilai-nilai kemanusiaan dikumandangkan.
Bila nilai-nilai tidak lagi diajarkan dan tidak lagi diindahkan, maka hubungan antara manusia menjadi kacau, lalu timbul chaos, maka hilanglah eksistensi manusia di alam ini. Dengan demikian membiarkan kezaliman sama artinya dengan membiarkan manusia jahat menghancurkan alam ini. Rumah-rumah ibadat itu mewakili seluruh umat beragama di dunia. Dengan demikian semua umat beragama, apalagi umat Islam, perlu ikut berperan dalam membantu mereka yang tertindas melawan kesewenang-wenangan.
           
Ciputat, 8-8-2012
Salman Harun

Kamis, 26 Juli 2012

SETELAH IBADAH RITUAL, APA LAGI?


ISLAM: SETELAH IBADAH RITUAL, APAKAH LAGI YANG PERLU DIKERJAKAN?[1]
OLEH Prof. Dr. H. Salman Harun[2]

Islam is not merely a system of theology,  is a way of life and a complete civilization (H.A.R.Gibb)

               Yang perlu dilaksanakan adalah penerapan nilai-nilai yang diajarkan dalam ibadah-ibadah rittual itu.
               Syahadat, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah, merupakan komitmen manusia untuk mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Salat dampaknya antara lain tercegahnya yang mengerjakannya dari perbuatan dosa (al-fahsya’) dan tidak pantas (al-munkar). Ketercegahan itu, sebagaimana dipahami dari hadis tidak secara serta merta tetapi lambat laun (satamna’uhu ‘akan mencegahnya’, tegas Rasulullah). Salat membentuk pribadi menjadi manusia baik.
               Zakat merupakan bukti baiknya seseorang dan menebarkan kebaikan kepada lingkungannya.
               Puasa melatih kesabaran, menahan diiri, dan menanamkan perasaan sayang kepada sesama makhluk terutama pada mereka yang masih berkekurangan.
Dan haji menanamkan perasaan persatuan antara suku dan bangsa di dunia ini dan menebarkan kebaikan di tingkat global.
               Ringkasnya, yang perlu dikerjakan setelah ibadah ritual adalah berbuat baik. Islam menghendaki pemeluknya menjadi manusia yang baik. Berbuat baik dalam Qur’an disebut ihsaan dan orang baik disebut muhsin. Ihsaan adalah membayar lebih dari seharusnya dan mengambil hak kurang dari seharusnya. Salat-salat wajib, misalnya, bila ditambah dengan salat-salat sunat, itu adalah ihsaan. Seorang pegawai, bila jam kantornya dari jam 9 sampai jam 16, bila ia datang jam 8 dan pulang jam 17, itu adalah ihsaan. Punya gaji Rp. 5 juta, disedekahkan Rp. 100 ribu, atau punya utang Rp. 1 juta dan ditambah bayarnya Rp.1.100 ribu, itu adalah ihsaan. Tetapi bila dikerjakan sebaliknya, itu adalah zalim. Orang Indonesia sekarang tampaknya banyak sekali yang zalim, karena punya hak Rp. 5 juta, misalnya, diambil milyaran, dan punya kewajiban pajak sekian misalnya, pajaknya itu dikemplang (dinegokan dengan pegawai pajak).
               Perbuatan baik yang perlu dikerjakan dalam Islam tentulah banyak sekali. Dalam kesempatan ini baiklah kita ambil perbuatan yang ditegaskan oleh Allah sebagai perbuatan ihsaan itu. Antara lain:
1.       Surah Bani Isra’il/17:23:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
               Setelah Allah menegeskan kewajiban beribadah kepada-Nya, Ia langsung menetapkan kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua, yang menunjukkan begitu tingginya kedudukan orang tua itu. Ihsaan kepada orang tua, sesuai definisi di atas, tentulah misalnya memberikan bakti yang terbaik kepada ibu bapa kita.
Allah meminta secara khusus perhatian anak kepada kedua orang tuanya yang benar-benar telah tua. Frasa “di samping kalian” dalam ayat itu mengisyaratkan bahwa ibu bapa kita itu seharusnya dirawat di dalam rumah tangga kita sendiri, kurang bagus misalnya dimasukkan ke panti jompo kecuali bila terpaksa.
Perlakuan kepada orang tua juga harus sehormat dan sehalus mungkin, sehingga menunjukkan rasa kesal saja, kita tidak diperbolehkan, apalagi berkata kasar kepada mereka.
               Lebih dari itu, Allah meminta anak memberikan perlindungan penuh kepada orang tuanya (seperti burung menaungkan sayap untuk melindungi anak-anaknya). Perlindungan penuh tentu berarti membiayai sepenuhnya keperluan orang tuanya. (Di sini peranan ansuransi sangat penting).
2.      Surah Isra’/17:26
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Kerabat adalah orang yang ada hubungan darah dengan kita tetapi bukan ahli waris. Ahli waris adalah ayah dan ibu, suami atau isteri, dan anak. Saudara jadi ahli waris bila anak tidak ada. Di luar itu adalah kerabat.
Kerabat, menurut hadis, berhak dua hal atas kita: pemberian (sedekah) dan perhatian (silaturrahim). Juga pemberian sukarela dari ahli waris ketika pembagian warisan.
Orang miskin berhak atas zakat dan bantuan lainnya.
Ibnu sabil adalah orang terlantar di perjalanan, atau tamu. Mereka berhak atas bantuan kita menyampaikan mereka kembali ke tempat asalnya.
3.      Surah al-Nisa’/4:36:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, ibnu sabil[295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
Ihsaan terhadap orang tua, kerabat, dan orang miskin telah dibahas di atas.
Ihsaan terhadap anak yatim adalah mengasuhnya sampai dwwasa. Bila mereka punya warisan, itu harus dijaga sebaik-baiknya, jangan sampai termakan sedikit pun kecuali dalam keadaan terpaksa, misalnya pengasuh miskin: ia boleh mengambil sekedarnya. Juga perhatian secara umum terhadap mereka.
Ihsaan terhadap tetangga adalah perhatian penuh sebagaimana kepada keluarga sendiri seakan-akan bisa saling mewarisi). Nabi menegaskan bahwa berbuat jahat terhadap tetangga (berzina, mencuri, dsb) dihukum lebih berat dari hukuman melakukannya kepada 10 bukan tetangga. Dan ada tiga hak tetangga: hak sebagai keluarga, tetangga, dan seagama.
Teman di samping adalah isteri/suami, sesama penumpang dalam kendaraan, teman duduk dalam suatu pertemuan, atau rekan kerja. Ihsaan kepada mereka adalah dengan saling membantu.
“Yang berada dalam tangan” bisa berarti anak buah, pekerja, pembantu, atau budak. Hak mereka adaah: kesejahteraan, tidak memberi pekerjaan yang membahayakan, dan perlakuan yang manusiawi (seperti makan bersama).
4.      Surah al-Zukhruf/43:32:
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
Dalam ayat itu Allah menegaskan bahwa rezeki manusia itu memang berbeda-beda, begitu juga kedudukan di antara mereka. Gunanya supaya ada yang melayani segenap segmen dan sektor pekerjaan dalam masyarakat.
5.      Surah al-Mumtahanah/60:6:
Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik (birr) dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Kata al-birr ‘berbakti’ biasanya digunakan untuk bakti kepada orang tua sendiri. Kata itu pula yang digunakan untuk berbuat baik terhadap non-muslim. Hal itu berarti bahwa perlakuan terhadap non-muslim dapat setingkat dengan perlakuan terhadap orang tua, dengan syarat umat Islam tidak diperangi dan diusir dari kampung halamannya karena latar belakang agama.

6.     Surah al-Hujurat/49:13:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Perbedaan gender, suku, dan bangsa itu dimaksudkan oleh Allah agar manusia bisa kenal-mengenal. Kenal-mengenal akan memberikan dampak positif di segala bidang. (Coba Anda bayangkan bila seseorang mengenal orang lain dengan baik. Begitu juga bila sebuah bangsa mengenal bangsa lain dengan baik. Apa yang akan terjadi? Keuntungan yang akan selalu meningkat dalam bidang apa pun: ekonomi, sosial, budaya, politik, dsb.!)  Semakin mengenal semakin besar dampak positif itu. Sebaliknya, ketersumbatan komunikasi akan menimbulkan konflik. Doktrin ini sudah diajarkan Islam semenjak lima belas abad yll.




[1] Disampaikan di acara buka bersama karyawan EPHINDO Jakarta 25 Juli 2012.
[2] E-mail: salmanhar2000@yahoo.com; blog: Salman Harun Institute. Blogspot.com.

Sabtu, 23 Juni 2012

AL-NISA’/4:5 WARISAN ANAK YATIM WAJIB DISERAHKAN


AL-NISA’/4:5
WARISAN ANAK YATIM WAJIB DISERAHKAN

Anak yatim perlu dilindungi, antara lain dengan menjaga warisannya dengan baik dan menyerahkannya kepadanya waktu ia dewasa (ayat 2). Harta itu dilarang diserahkan bila anak itu belum dewasa, karena ia pasti belum mengerti cara mengelola keuangan. Dinyatakan dengan “harta kalian” pada hal harta itu adalah harta anak yatim, adalah untuk menunjukkan bahwa kekayaan itu (sumber daya pada umumnya) harus bermanfaat untuk masyarakat. Sumber daya itu tiang kehidupan (qiyam) karena itu jangan dibuat percuma (tidak boleh ditimbun, dimonopoli, tetapi mengalir dengan diinvestasikan). Anak yatim dibiayai (pangan, sandang, dsb.) dari “dalam” harta mereka, yaitu dari keuntungannya. Berarti harta anak yatim itu perlu diinvestasikan. Modal mereka jangan tergerus kebutuhan dan inflasi. “Ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik” maksudnya perlakukan anak yatim dengan baik (Salman Harun).

AL-NISA’/4:4 SEPUTAR MAHAR

AL-NISA’/4:4
SEPUTAR MAHAR

“Berikanlah mahar perempuan-perempuan itu”, perintah memberikan dengan ungkapan aatuu, yang mengandung makna terjadinya pekerjaan antara dua pihak. Hal itu berarti bahwa mahar wajib dibayar suami dan harus sampai dan diterima isteri, tidak boleh ditahan atau dikurangi, misalnya, oleh wali.
Diungkapkannya mahar dengan kata shaduqaat, bukan “mahr” ‘mahar’, yang diderivasi dari kata dasar shidq ‘benar’, mengandung arti bahwa mahar itu merupakan bukti kebenaran cinta suami dan kebenaran keinginan dan kemampuannya bertanggung jawab. Mahar karena itu seharusnya sesuatu yang berharga, biasanya berupa logam mulia, sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad saw. Mahar dalam bentuk logam mulia juga mengandung arti keabadian cinta, sebagaimana tidak lunturnya logam mulia tsb. (Mahar hanya dalam bentuk seperangkat alat salat dinilai terlalu menyederhanakan lembaga perkawinan).
“Sebagai pemberiasn tulus (nihlah)”. Nihlah dari nahl ‘lebah’ yang mempersembahkan madu: intisari berbagai bunga dan buah yang diambilnya tanpa merusaknya, steril, dan bermanfaat bagi manusia. Mahar hendaknya seperti itu pula: hasil jerih payah suami, bersih bukan hasil korupsi, dan bermanfaat bagi sang isteri. Mahar juga hendaknya diberikan dari lubuk hati yang suci dari suami.
“Jika mereka berbaik hati memberikan sebagiannya, makanlah dengan enak dan sedap!” Bila isteri dengan sukarela mau memberikan sebagian mahar kepada suami, itu dibolehkan (halal), dan nikmatilah tanpa ragu (Salman Harun).


Selasa, 19 Juni 2012

NISA’/3 HAK SOSIAL PEREMPUAN


AL-NISA’/3
HAK SOSIAL PEREMPUAN

            “Jika kalian khawatir tidak bisa memperlakukan secara setara anak yatim (dengan perempuan biasa), maka nikahilah apa yang baik bagi kalian pada perempuan, dua, tiga, dan empat”. Tuqshithu (masdar: iqshath) adalah membuat neraca timbangan setara antara yang kiri dan yang kanan. Berarti anak perempuan yatim perlu diperlakukan setara dengan perempuan biasa bila ingin dinikahi: mereka harus juga diberi mahar dan nafkah yang layak. Bila tidak mampu memperlakukan setara seperti itu, lebih baik tidak mengawini mereka. Mereka yang melanggarnya akan berdosa besar.  
            Daripada mengawini anak perempuan yatim secara tidak layak, yang dosanya lebih besar, lebih kecil kemungkinan mendapat dosa mengawini perempuan biasa lebih dari seorang (poligami) secara biasa pula, yaitu dengan memberi mahar dan nafkah yang cukup. Dan perlu diingat bahwa yang dikawini itu adalah ma ‘apa’ yang baik yang ada pada perempuan itu, yaitu iman dan akhlaknya, bukan “siapa” perempuan itu, seperti apakah ia bangsawan, berpangkat, kaya, dsb.
“Bila kalian khawatir tidak bisa bersikap adil, maka seorang saja”. Syarat boleh memiliki isteri lebih dari seorang adalah kemampuan memperlakukan isteri-isteri itu secara adil. “Adil” adalah memberikan hak sesuai kebutuhan. Bila laki-laki merasa tidak mampu mencukupkan kebutuhan isteri kedua, ia tidak dibenarkan menambah isterinya.
“Itu lebih dekat untuk tidak aniaya”. Bila ia tidak mampu lalu menambah isteri juga, orang itu berarti telah melakukan kezaliman. Zalim berarti melakukan dosa besar. Demikianlah hak sosial perempuan: nafkah yang cukup, dan hak sosial perempuan yatim: kesetaraan dengan perempuan biasa (Salman Harun)

NISA' 2: HAK-HAK MENDASAR ANAK YATIM


AL-NISA’/4:2
HAK-HAK MENDASAR ANAK YATIM

Ditegaskannya hak-hak anak yatim langsung setelah ayat pertama mengandung arti bahwa hubungan darah dan kemanusiaan yang paling pertama dan utama yang perlu dijaga adalah penjagaan hak-hak anak yatim.
“Berikan kepada anak-anak yatim itu harta mereka”, perintah Allah kepada wali agar menyerahkan kepada anak yatim yang diasuhnya warisan orang tua mereka yang ia kelola.
“Jangan kalian tukar yang buruk dengan yang baik”, misalnya milik kita yang buruk kita serahkan kepada anak yatim itu, dan milik (warisan) anak yatim yang baik kita ambil sebagai tukarannya.
“Dan jangan kalian makan harta mereka ke dalam harta kalian”. Ini bentuk akal-akal lain: supaya tidak kentara, kekayaan anak yatim kita masukkan ke dalam kekayaan kita, lalu kita nikmati, untuk mengesankan bahwa kita hanya memakan kekayaan kita sendiri.
“Itu adalah dosa besar”. Jangan akal-akalan (menipu), Allah tidak bisa diakalakali. Memakan hak anak yatim berdosa besar. (Salman Harun)

NISA' 1: KESATUAN UMAT MANUSIA


AL-NISA’/4:1
KESATUAN UMAT MANUSIA

“Wahai manusia takwailah Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu” maksudnya sadarilah bahwa manusia itu berasal dari satu nenek moyang, karena itu jangan berpecah belah apalagi bermusuh-musuhan. Bila diindahkan Ia akan imbali, bila tidak diindahkan Ia jatuhkan sanksi.
            “Dan Ia ciptakan darinya belahan”, maksudnya isterinya. Isteri adalah belahan suami dan suami adalah belahan isteri, karena itu perlu saling menjaga sebagaimana ia menjaga dirinya sendiri. Seorang laki-laki atau seorang perempuan belum akan sempurna tanpa belahannya dan tidak akan dapat menjalankan fungsinya secara maksimal tanpa pasangannya.
Isterinya itu bernama Hawwa’ yang menurut hadis diciptakan Allah dari tulang rusuk Adam. Banyak orang salah paham, di antaranya kaum feminis, bahwa bila Hawwa’ dari tulang rusuk Adam berarti perempuan lebih rendah (subordinate) dari laki-laki, pada hal yang diciptakan dari tulang rusuk hanyalah Hawwa’ itu, selanjutnya anak cucuk Adam dan Hawwa’ diciptakan dari sperma dan ovum (Q. 23:12). Dalam Islam laki-laki dan perempuan setara (Q. 4:32).
“Dan Ia kembangbiakkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak”. Manusia terus berkembang biak menjadi berbagai ras, bangsa, dan suku. Populasi manusia di bumi ini sekarang diperkirakan sekitar 18 milyar jiwa.
“Takwailah Allah yang kalian saling meminta kepada-Nya, begitu juga rahim”. Menakwai Allah adalah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Manusia pasti membutuhkan Tuhan, tetapi mengapa sebagian mereka tetap membangkang kepada-Nya? Yang perlu dijaga pula adalah hubungan darah (shilaturrahim) dari yang terdekat sampai yang paling jauh jauh, dan hubungan persahabatan (shilaturrahmi).
“Allah sungguh Maha Mengawasi kalian”. Allah mengetahui kebutuhan kita sehingga Ia akan beri bila kita berusaha dan meminta. Tetapi Allah juga mengamati kita: segala perbuatan kita, di antaranya apakah kita menjaga hubungan darah dan persahabatan, pasti diketahui-Nya dan dicatat para petugas-Nya untuk diimbali atau diganjari. Dengan memelihara hubungan darah dan persahabatan itulah akan terwujud kesatuan umat manusia. (Salman Harun)

SURAH AL-NISA': SURAH PEMERSATU


SURAH AL-NISA’:
SURAH PEMERSATU

            Akhir Surah al-Fatihah menginformasikan adanya tiga golongan manusia: mereka yang Allah beri nikmat-Nya, mereka yang Ia murkai, dan mereka yang sesat.
            “Mereka yang Ia beri nikmat” adalah mereka yang beriman, yaitu mengikuti Nabi Muhammad saw, dan mereka selalu disinggung dalam semua surah.
            “Mereka yang dimurkai” adalah mereka diceritakan dalam peristiwa “sapi betina” yang menjadi latar belakang dinamainya surah itu Surah al-Baqarah. Ya, ada orang terbunuh. Untuk mengetahui siapa pembunuhnya, orang itu perlu dihidupkan sebentar untuk menceritakan peristiwa. Nabi Musa a.s meminta Bani Israil untuk mencari seekor sapi betina. Bani Israil enggan, lalu bertanya bagaimana status sapi itu apakah sudah pernah campur ataukah masih perawan, apa warnanya, bagaimana kondisinya apakah pernah dipekerjakan atau belum, dsb. Hal itu menandakan bahwa Bani Israil itu bersifat pembantah dan banyak helah. Begitu pulalah sikap mereka terhadap Nabi Muhammad saw.
            “Mereka yang sesat” dapat dipahami dari dinamakannya surah ketiga Surah Al ‘Imran. ‘Imran bernazar jika anaknya laki-laki, akan ia persembahkan untuk mengabdikan diri pada rumah ibadah. Ternyata yang lahir perempuan, ia beri nama Maryam. Rupanya, sekalipun tidak mengabulkan doanya untuk diberi anak laki-laki, Allah sudah mempunyai skenario besar, yaitu lahirnya seorang Rasul besar dari rahimnya, tanpa ayah. Kaum Nasrani memandang, karena lahirnya tanpa ayah itu, bahwa ia adalah putra Tuhan. Nabi Muhammad saw datang menjelaskan bahwa ia bukan putra Tuhan, Tuhan itu tidak mungkin punya isteri atau putra, dan peristiwa itu hanyalah untuk menunjukkan bahwa Tuhan itu Mahakuasa. Bagaimana pun Nabi Muhammad saw menjelaskannya, sehingga diterangkan ibu dan kakek-neneknya, bahkan pengasuh (Nabi Zakariya) dan teman sebayanya (Yahya), mereka tetap bergeming mengatakan bahwa Nabi Isa itu anak Tuhan.
            Dua peristiwa itulah yang menjadi akar konflik di dunia sampai sekarang: adanya sikap tidak mau percaya dan banyak helah sehingga karena itu dimurkai (al-maghdhub) serta kesalahpahaman (al-dhallin). Kedua sikap itu kemudian menjadi aliran: Yahudi dan Nasrani, yang meneruskan konflik itu menentang seruan Nabi Muhammad saw. Untuk menetralisir konflik itulah kiranya Allah menurunkan Surah al-Nisa’. Nisa’ artinya ‘perempuan, ia punya rahim. Allah mengingatkan manusia bahwa mereka datang dari rahim yang satu, yaitu Hawa, dan dari ayah yang satu yaitu Adam (Salman Harun)