Kamis, 26 Juli 2012

SETELAH IBADAH RITUAL, APA LAGI?


ISLAM: SETELAH IBADAH RITUAL, APAKAH LAGI YANG PERLU DIKERJAKAN?[1]
OLEH Prof. Dr. H. Salman Harun[2]

Islam is not merely a system of theology,  is a way of life and a complete civilization (H.A.R.Gibb)

               Yang perlu dilaksanakan adalah penerapan nilai-nilai yang diajarkan dalam ibadah-ibadah rittual itu.
               Syahadat, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah, merupakan komitmen manusia untuk mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Salat dampaknya antara lain tercegahnya yang mengerjakannya dari perbuatan dosa (al-fahsya’) dan tidak pantas (al-munkar). Ketercegahan itu, sebagaimana dipahami dari hadis tidak secara serta merta tetapi lambat laun (satamna’uhu ‘akan mencegahnya’, tegas Rasulullah). Salat membentuk pribadi menjadi manusia baik.
               Zakat merupakan bukti baiknya seseorang dan menebarkan kebaikan kepada lingkungannya.
               Puasa melatih kesabaran, menahan diiri, dan menanamkan perasaan sayang kepada sesama makhluk terutama pada mereka yang masih berkekurangan.
Dan haji menanamkan perasaan persatuan antara suku dan bangsa di dunia ini dan menebarkan kebaikan di tingkat global.
               Ringkasnya, yang perlu dikerjakan setelah ibadah ritual adalah berbuat baik. Islam menghendaki pemeluknya menjadi manusia yang baik. Berbuat baik dalam Qur’an disebut ihsaan dan orang baik disebut muhsin. Ihsaan adalah membayar lebih dari seharusnya dan mengambil hak kurang dari seharusnya. Salat-salat wajib, misalnya, bila ditambah dengan salat-salat sunat, itu adalah ihsaan. Seorang pegawai, bila jam kantornya dari jam 9 sampai jam 16, bila ia datang jam 8 dan pulang jam 17, itu adalah ihsaan. Punya gaji Rp. 5 juta, disedekahkan Rp. 100 ribu, atau punya utang Rp. 1 juta dan ditambah bayarnya Rp.1.100 ribu, itu adalah ihsaan. Tetapi bila dikerjakan sebaliknya, itu adalah zalim. Orang Indonesia sekarang tampaknya banyak sekali yang zalim, karena punya hak Rp. 5 juta, misalnya, diambil milyaran, dan punya kewajiban pajak sekian misalnya, pajaknya itu dikemplang (dinegokan dengan pegawai pajak).
               Perbuatan baik yang perlu dikerjakan dalam Islam tentulah banyak sekali. Dalam kesempatan ini baiklah kita ambil perbuatan yang ditegaskan oleh Allah sebagai perbuatan ihsaan itu. Antara lain:
1.       Surah Bani Isra’il/17:23:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
               Setelah Allah menegeskan kewajiban beribadah kepada-Nya, Ia langsung menetapkan kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua, yang menunjukkan begitu tingginya kedudukan orang tua itu. Ihsaan kepada orang tua, sesuai definisi di atas, tentulah misalnya memberikan bakti yang terbaik kepada ibu bapa kita.
Allah meminta secara khusus perhatian anak kepada kedua orang tuanya yang benar-benar telah tua. Frasa “di samping kalian” dalam ayat itu mengisyaratkan bahwa ibu bapa kita itu seharusnya dirawat di dalam rumah tangga kita sendiri, kurang bagus misalnya dimasukkan ke panti jompo kecuali bila terpaksa.
Perlakuan kepada orang tua juga harus sehormat dan sehalus mungkin, sehingga menunjukkan rasa kesal saja, kita tidak diperbolehkan, apalagi berkata kasar kepada mereka.
               Lebih dari itu, Allah meminta anak memberikan perlindungan penuh kepada orang tuanya (seperti burung menaungkan sayap untuk melindungi anak-anaknya). Perlindungan penuh tentu berarti membiayai sepenuhnya keperluan orang tuanya. (Di sini peranan ansuransi sangat penting).
2.      Surah Isra’/17:26
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Kerabat adalah orang yang ada hubungan darah dengan kita tetapi bukan ahli waris. Ahli waris adalah ayah dan ibu, suami atau isteri, dan anak. Saudara jadi ahli waris bila anak tidak ada. Di luar itu adalah kerabat.
Kerabat, menurut hadis, berhak dua hal atas kita: pemberian (sedekah) dan perhatian (silaturrahim). Juga pemberian sukarela dari ahli waris ketika pembagian warisan.
Orang miskin berhak atas zakat dan bantuan lainnya.
Ibnu sabil adalah orang terlantar di perjalanan, atau tamu. Mereka berhak atas bantuan kita menyampaikan mereka kembali ke tempat asalnya.
3.      Surah al-Nisa’/4:36:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, ibnu sabil[295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
Ihsaan terhadap orang tua, kerabat, dan orang miskin telah dibahas di atas.
Ihsaan terhadap anak yatim adalah mengasuhnya sampai dwwasa. Bila mereka punya warisan, itu harus dijaga sebaik-baiknya, jangan sampai termakan sedikit pun kecuali dalam keadaan terpaksa, misalnya pengasuh miskin: ia boleh mengambil sekedarnya. Juga perhatian secara umum terhadap mereka.
Ihsaan terhadap tetangga adalah perhatian penuh sebagaimana kepada keluarga sendiri seakan-akan bisa saling mewarisi). Nabi menegaskan bahwa berbuat jahat terhadap tetangga (berzina, mencuri, dsb) dihukum lebih berat dari hukuman melakukannya kepada 10 bukan tetangga. Dan ada tiga hak tetangga: hak sebagai keluarga, tetangga, dan seagama.
Teman di samping adalah isteri/suami, sesama penumpang dalam kendaraan, teman duduk dalam suatu pertemuan, atau rekan kerja. Ihsaan kepada mereka adalah dengan saling membantu.
“Yang berada dalam tangan” bisa berarti anak buah, pekerja, pembantu, atau budak. Hak mereka adaah: kesejahteraan, tidak memberi pekerjaan yang membahayakan, dan perlakuan yang manusiawi (seperti makan bersama).
4.      Surah al-Zukhruf/43:32:
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
Dalam ayat itu Allah menegaskan bahwa rezeki manusia itu memang berbeda-beda, begitu juga kedudukan di antara mereka. Gunanya supaya ada yang melayani segenap segmen dan sektor pekerjaan dalam masyarakat.
5.      Surah al-Mumtahanah/60:6:
Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik (birr) dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Kata al-birr ‘berbakti’ biasanya digunakan untuk bakti kepada orang tua sendiri. Kata itu pula yang digunakan untuk berbuat baik terhadap non-muslim. Hal itu berarti bahwa perlakuan terhadap non-muslim dapat setingkat dengan perlakuan terhadap orang tua, dengan syarat umat Islam tidak diperangi dan diusir dari kampung halamannya karena latar belakang agama.

6.     Surah al-Hujurat/49:13:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Perbedaan gender, suku, dan bangsa itu dimaksudkan oleh Allah agar manusia bisa kenal-mengenal. Kenal-mengenal akan memberikan dampak positif di segala bidang. (Coba Anda bayangkan bila seseorang mengenal orang lain dengan baik. Begitu juga bila sebuah bangsa mengenal bangsa lain dengan baik. Apa yang akan terjadi? Keuntungan yang akan selalu meningkat dalam bidang apa pun: ekonomi, sosial, budaya, politik, dsb.!)  Semakin mengenal semakin besar dampak positif itu. Sebaliknya, ketersumbatan komunikasi akan menimbulkan konflik. Doktrin ini sudah diajarkan Islam semenjak lima belas abad yll.




[1] Disampaikan di acara buka bersama karyawan EPHINDO Jakarta 25 Juli 2012.
[2] E-mail: salmanhar2000@yahoo.com; blog: Salman Harun Institute. Blogspot.com.