Jumat, 23 Januari 2009

Tafsir 2:3b: CIRI KEDUA ORANG TAKWA: SALAT, YANG MENJAMIN MANUSIA MENJADI BAIK

CIRI KEDUA ORANG TAKWA: SALAT, YANG MENJAMIN MANUSIA MENJADI BAIK

“Dan mendirikan salat,” (2:3b).
Mendirikan salat adalah ciri kedua orang yang takwa. “Mendirikan” sesuatu adalah menegakkannya sekukuh-kukuhnya sehingga tidak goyah sedikit pun. Mendirikan salat maksudnya melaksanakannya sesempurna-sempurnanya. Itu sudah dimulai dari wuduk, dan meliputi tatacaranya, bacaannya, sikapnya, waktunya, dsb.
Wuduk dimulai dengan mensucikan diri dari kotoran, terutama dua tempat keluar kotoran itu. Selanjutnya berniat bahwa kita berwuduk itu semata-mata untuk membersihkan diri kita, mensucikannya dari dosa, dan guna mendekatkan diri kepada Allah, serta untuk mematuhi perintah-Nya. Kita cuci tangan kita, kita berkumur-kumur, kita basuh muka kita dan kedua tangan kita, lalu kita seka kepala kita dan kedua telinga kita, terakhir kita basuh kedua kaki kita. Semuanya kita lakukan sesempurna mungkin. Artinya, jangan sampai ada di antara anggota tubuh itu yang tidak terkena air wuduk dengan merata. Dan kita mengerjakannya beserta niat semoga segala dosa yang mungkin telah dikerjakan oleh anggota-anggota tubuh kita itu diampuni-Nya. Berwuduk seperti itulah yang dinyatakan Nabi saw. bahwa dosa-dosa pelakunya keluar dari bawah kuku jari-jarinya.
Kemudian kita berdiri menghadap-Nya. Bagaimanakah perasaan kita pada waktu itu? Di depan siapakah kita? Mungkinkah perasaan kita biasa-biasa saja, mengingat yang kita hadapi adalah pencipta, pemelihara, dan penentu nasib kita? Kita pasang niat kita mengerjakan salat itu, yaitu menyembah-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya. Kemudian kita akui keagungan-Nya dengan mengikrarkan, Allahu Akbar ‘Allah Mahabesar’.
Semua perbuatan dalam salat itu kita kerjakan sesempurna mungkin. Kita berdiri takzim, tanda kita mengagungkan-Nya. Kita rukuk dengan tulus, tanda kita tunduk sepenuhnya kepada-Nya. Kita sujud dengan dalam, tanda kita bersumpah bahwa kita akan setia menjalankan perintah-Nya. Kita “duduk hormat” pertama antara dua sujud dengan sikap sempurna untuk bermohon kepada-Nya. Kita ulangi perbuatan itu sebanyak dua, tiga, atau empat kali sesuai rakaat salatnya. Kemudian kita akhiri salat kita dengan “duduk hormat” kedua, sambil menyampaikan pujian kepada-Nya, salam dan hormat kita kepada Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim, dan doa kita kepada kaum muslimin.
Semua bacaan di dalamnya kita pahami dan hayati. Kita ikrarkan bahwa salat, pengorbanan, hidup, dan mati kita hanya demi Dia. Kita puji Dia sampai puncak pujian, karena memang Ia yang pantas menerima pujian itu. Kita tegaskan kepada-Nya bahwa Ia Mahakuasa dan Mahaagung. Kita memohon keampunan dosa kita, kasih sayang-Nya, martabat diri kita, rezeki kita, jalan hidup kita, kesehatan kita, dsb. Dan kita ikrarkan salam hormat kita kepada-Nya. Lalu kita tutup salat kita dengan doa bagi kawan-kawan kita di sekeliling kita. Semua ucapan kita kita ikrarkan dengan penuh khusyuk, yaitu keluar dari hati yang tulus dan memohon rida dan penerimaan-Nya.
Salat itu kita kerjakan lima kali dalam sehari. Dan kita mengerjakannya di awal waktu, karena salat di awal waktu adalah puncak kebaikan.
Fungsi salat menahan manusia dari berbuat yang tidak baik (29:45). Fungsi itu pasti efektif mengingat kedekatan dan ikrar manusia kepada Tuhan itu. Dan doa manusia itu pasti dikabulkan (14:34). Dengan demikian salat menjamin manusia baik. Karena itu bila di Indonesia budaya korupsi semakin hebat, itu tanda pelaksanaan salatnya yang belum benar, bukan salah salatnya. (Prof. Dr. H. Salman Harun)

CIRI KEDUA ORANG TAKWA: SALAT, YANG MENJAMIN MANUSIA MENJADI BAIK

“Dan mendirikan salat,” (2:3).
Mendirikan salat adalah ciri kedua orang yang takwa. “Mendirikan” sesuatu adalah menegakkannya sekukuh-kukuhnya sehingga tidak goyah sedikit pun. Mendirikan salat maksudnya melaksanakannya sesempurna-sempurnanya. Itu sudah dimulai dari wuduk, dan meliputi tatacaranya, bacaannya, sikapnya, waktunya, dsb.
Wuduk dimulai dengan mensucikan diri dari kotoran, terutama dua tempat keluar kotoran itu. Selanjutnya berniat bahwa kita berwuduk itu semata-mata untuk membersihkan diri kita, mensucikannya dari dosa, dan guna mendekatkan diri kepada Allah, serta untuk mematuhi perintah-Nya. Kita cuci tangan kita, kita berkumur-kumur, kita basuh muka kita dan kedua tangan kita, lalu kita seka kepala kita dan kedua telinga kita, terakhir kita basuh kedua kaki kita. Semuanya kita lakukan sesempurna mungkin. Artinya, jangan sampai ada di antara anggota tubuh itu yang tidak terkena air wuduk dengan merata. Dan kita mengerjakannya beserta niat semoga segala dosa yang mungkin telah dikerjakan oleh anggota-anggota tubuh kita itu diampuni-Nya. Berwuduk seperti itulah yang dinyatakan Nabi saw. bahwa dosa-dosa pelakunya keluar dari bawah kuku jari-jarinya.
Kemudian kita berdiri menghadap-Nya. Bagaimanakah perasaan kita pada waktu itu? Di depan siapakah kita? Mungkinkah perasaan kita biasa-biasa saja, mengingat yang kita hadapi adalah pencipta, pemelihara, dan penentu nasib kita? Kita pasang niat kita mengerjakan salat itu, yaitu menyembah-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya. Kemudian kita akui keagungan-Nya dengan mengikrarkan, Allahu Akbar ‘Allah Mahabesar’.
Semua perbuatan dalam salat itu kita kerjakan sesempurna mungkin. Kita berdiri takzim, tanda kita mengagungkan-Nya. Kita rukuk dengan tulus, tanda kita tunduk sepenuhnya kepada-Nya. Kita sujud dengan dalam, tanda kita bersumpah bahwa kita akan setia menjalankan perintah-Nya. Kita “duduk hormat” pertama antara dua sujud dengan sikap sempurna untuk bermohon kepada-Nya. Kita ulangi perbuatan itu sebanyak dua, tiga, atau empat kali sesuai rakaat salatnya. Kemudian kita akhiri salat kita dengan “duduk hormat” kedua, sambil menyampaikan pujian kepada-Nya, salam dan hormat kita kepada Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim, dan doa kita kepada kaum muslimin.
Semua bacaan di dalamnya kita pahami dan hayati. Kita ikrarkan bahwa salat, pengorbanan, hidup, dan mati kita hanya demi Dia. Kita puji Dia sampai puncak pujian, karena memang Ia yang pantas menerima pujian itu. Kita tegaskan kepada-Nya bahwa Ia Mahakuasa dan Mahaagung. Kita memohon keampunan dosa kita, kasih sayang-Nya, martabat diri kita, rezeki kita, jalan hidup kita, kesehatan kita, dsb. Dan kita ikrarkan salam hormat kita kepada-Nya. Lalu kita tutup salat kita dengan doa bagi kawan-kawan kita di sekeliling kita. Semua ucapan kita kita ikrarkan dengan penuh khusyuk, yaitu keluar dari hati yang tulus dan memohon rida dan penerimaan-Nya.
Salat itu kita kerjakan lima kali dalam sehari. Dan kita mengerjakannya di awal waktu, karena salat di awal waktu adalah puncak kebaikan.
Fungsi salat menahan manusia dari berbuat yang tidak baik (29:45). Fungsi itu pasti efektif mengingat kedekatan dan ikrar manusia kepada Tuhan itu. Dan doa manusia itu pasti dikabulkan (14:34). Dengan demikian salat menjamin manusia baik. Karena itu bila di Indonesia budaya korupsi semakin hebat, itu tanda pelaksanaan salatnya yang belum benar, bukan salah salatnya. (Prof. Dr. H. Salman Harun)

Sabtu, 17 Januari 2009

Tafsir 2:3a CIRI PERTAMA ORANG TAKWA: IMAN, YANG MEMBAWA KESELAMATAN

CIRI PERTAMA ORANG TAKWA: IMAN, YANG MEMBAWA KESELAMATAN

“(Yaitu) Mereka yang beriman kepada yang ghaib,’ (2:3a)
Ayat ini menjelaskan ciri orang yang takwa, menerangkan ayat sebelumnya.
Ciri pertama orang yang takwa adalah “beriman kepada yang ghaib”. Beriman adalah percaya, yang berbeda dari mengindera dan berpikir. Mengindera adalah melihat, mendengar, mencium, merasa, obyeknya konkret, yaitu dunia empiris. Berpikir adalah memeras otak untuk memahami suatu persoalan, obyeknya abstrak. Sedangkan beriman adalah mempercayai informasi, yang sumbernya adalah wahyu.
Jadi, sumber pengetahuan itu tiga: pancaindera, pikiran, dan wahyu. Apa yang tidak teridera oleh pancaindera tidak berarti tidak ada, bila pikiran membenarkannya, misalnya konsep, nilai, paham, dsb. Dan apa yang tidak terindera oleh pancaindera atau tidak diterima oleh akal tidak berarti tidak ada atau salah, bila wahyu memberitakannya. Itulah yang yang ghaib. Yang ghaib adalah segala yang tidak terindera oleh pancaindera, tetapi dapat diketahui oleh pikiran atau diinformasikan oleh wahyu, misalnya Tuhan, hidup setelah mati, surga dan neraka, dsb. Hidup sesudah mati, misalnya, sulit diterima akal, karena bagaimana mungkin manusia yang sudah hancur lebur tinggal tulang belulang kering, bisa hidup kembali. Tetapi itu benar sebenar-benarnya karena wahyu memberitakannya.
Yang ghaib yang diberitakan oleh wahyu itu tidak berarti tidak menggunakan indera dan pikiran untuk membuktikannya. Al-Qur’an, misalnya, meminta manusia untuk menggunakan mata kepala, mata pikiran, dan mata hati (itulah kiranya pengertian yanzhurun) untuk melihat, bagaimana kejadian unta, luasnya kosmos, kokohnya gunung, dan terhamparnya bumi, sehingga manusia dapat diam di bumi ini dengan baik. Setelah itu manusia perlu mengambil pelajaran tentang adanya Tuhan yang menciptakan semuanya itu (88:17-22). Oleh karena itu iman tidak berarti menerima mentah-mentah begitu saja. Iman perlu dibantu oleh indera dan pikiran.
Karena iman dibantu oleh indera dan pikiran, sedangkan indera dan pikiran itu terbatas, maka apa yang bisa dicapai dengan iman itu juga terbatas. Oleh karena itu apa yang diimani oleh manusia tentang Tuhan, kehidupan akhirat, surga dan neraka, dsb. tidak akan sama dengan kenyataannya nanti. Apa yang akan kita saksikan dan peroleh nanti akan mahahebat dan mahadahsyat daripada apa yang kita bayangkan dan pikirkan sekarang. Itulah iman, dan sikapnya adalah percaya dan menunggu.
Iman kepada yang ghaib akan membawa manusia ke dalam cakrawala yang mahaluas, mahatinggi, dan mahaagung yang tak terperkirakan. Dengan demikian manusia menjadi makhluk yang begitu luar biasa luas konsepsi dan persepsinya. Itulah keistimewaannya. Tanda orang kafir, kata Muhammad Iqbal, adalah bahwa ia hilang di dalam cakrawala, tanda orang mukmin adalah bahwa cakrawala hilang di dalam dirinya (Rahman/1983:33).
Tanda orang iman adalah bahwa Tuhan baginya segala-galanya. Ia akan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dunia sifatnya sementara, sedangkan yang abadi adalah akhirat. Karena itu dunia baginya bukan tidak berarti, namun bukan pula tujuan, tetapi perantara. Ia ingin menguasai sebaik-baiknya dunia ini, supaya ia dapat mengantarainya untuk menguasai akhirat yang sebaik-baiknya pula. Karena itu ia akan mengelola alam ini sesuai dengan etika yang digariskan-Nya Dengan demikian orang yang iman akan menciptakan kebaikan dan keselamatan di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, orang yang kafir akan memandang dunia ini segala-galanya, karena, “Begitulah tingkat ilmu mereka,” tegas Al-Qur’an (53:30). Yang dihasilkan sikap seperti itu hanyalah kerusakan. (Prof. Dr. H. Salman Harun, UIN Jakarta)

Rabu, 14 Januari 2009

Tafsir 2:2b AL-QUR’AN MENCIPTAKAN GENERASI UNGGUL

3. AL-QUR’AN MENCIPTAKAN GENERASI UNGGUL

“Tidak ada keraguan padanya,” (2:2b).
Al-Qur’an tidak diragukan dari segi apa pun. Pertama, dari segi sumbernya, yaitu Allah swt. Siapakah yang meragukan Allah? Ia ada, tetapi tidak terindera. Ia Mahabenar sehingga disebut al-Haqq ‘Yang Mahabenar’ baik Zat-nya, sifat-Nya, maupun ucapan-Nya.
Semua firman Allah terhimpun dalam Lauh Mahfuz ‘Lempeng yang Terjaga’. Semua firman Allah masuk ke dalam Lempeng itu. Volume Lempeng itu dilukiskan Al-Qur’an, “Bila lautan dijadikan tinta dan semua pohon dijadikan pena, maka sudah habis semua lautan itu lalu ditambah dengan lautan sebanyak itu lagi, maka firman Allah belum akan habis dituliskan,” (18:109). Al-Qur’an cukup dengan satu botol tinta dituliskan. Dengan demikian Al-Qur’an hanya sebagian kecil firman Allah tsb.
Firman Allah terjaga di Lauh Mahfuz karena dilindungi oleh sistem pengamanan yang ketat. Dalam Al-Qur’an sistem pengamanan itu dilukiskan, bahwa bila ada di antara syaitan yang mendekati “gudang” itu, untuk menyabotasenya, maka ia akan ditembak dengan panah-panah api (72:27), sehingga ia tidak akan dapat mengganggunya.
Kedua, Al-Qur’an tidak diragukan dari segi pembawanya dari Lauh Mahfuz kepada Rasul Allah, yaitu Jibril. Malaikat ini diberi predikat, al-Ruh al-Amin ‘Ruh yang Sangat Terpercaya’ (26:193). Berarti ia jujur sejujur-jujurnya, sehingga apa saja firman Allah yang diperintahkan-Nya untuk disampaikan, disampaikannya tanpa mengorupsinya sedikit pun.
Jibril juga dinamakan Syadid al-Quwa ‘Yang Dahsyat Kekuatannya’. Bila ada syaitan yang ingin menyabotase firman itu, hal itu tidak akan terjadi, karena Jibril itu begitu perkasanya. Ia adalah penghulu para malaikat, dan segala malaikat takut kepadanya. Karena itu wahyu pasti sampai kepada seorang rasul dengan aman.
Ketiga, dari segi penerimanya, yaitu Nabi Muhammad saw. Masyarakat sudah mengenal siapa sukunya, nenek moyangnya, dan orang tuanya. Bagaimana akhlaknya semenjak kecil juga sudah dikenal mereka, sehingga mereka menggelarinya al-Amin ‘Yang Amat Jujur’.
Keempat, dari segi pelestariannya. Sebagaimana sudah disinggung, Al-Qur’an masuk ke dalam hati sanubari Nabi. Nabi membacakannya kepada para sahabat, lalu mereka hafalkan dan tuliskan. Pada zaman Abu Bakar Siddiq, Al-Qur’an dihimpun dalam satu mushaf, dasarnya hafalan dan tulisan itu. Pada zaman Usman bin Affan, Al-Qur’an disalin beberapa buah dan dikirim ke daerah-daerah Islam. Al-Qur’an kemudian disalin dan disalin lagi sehingga tersebar luas, apalagi setelah mesin cetak ditemukan.
Dan kelima, dari segi isinya. Al-Qur’an mengandung ajaran-ajaran pokok mengenai seluruh segi kehidupan manusia: mental, ekonomi, politik, sosial, budaya, dll. Ajaran-ajaran itu berisi tuntunan bagi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan umat manusia. Dan ajaran-ajaran itu cocok diterapkan pada segala tempat dan waktu, serta menjamin kebahagiaan manusia di dunia ini dan di akhirat nanti.
Al-Qur’an tidak diragukan, ia kukuh dari segala seginya. Penganut yang mengi-mani dan menjalankan ajarannya seharusnya juga kukuh dan tidak diragukan kepribadi-annya. Penganutnya seharusnya menjadi generasi unggul dari generasi ke generasi. Bila tidak tercipta penganut seperti itu, tanda bahwa penganut belum melaksanakan ajaran Kitab itu dengan sebenar-benarnya. (Prof. Dr. H. Salman Harun, UIN Jakarta)

Selasa, 13 Januari 2009

Tafsir 2:2c Al-Qur'an Mewujudkan Manusia Baik

4. AL-QUR’AN MENJAMIN TERWUJUDNYA MANUSIA BAIK

“Hidayah bagi orang-orang takwa,” (2:2c).
Hidayah adalah pedoman dan jalan kehidupan (way of life). Al-Qur’an sebagai pedoman kehidupan yaitu memfungsikan Kitab itu sebagai penuntun kehidupan. Kitab itu didalami, kemudian diimani, lalu dijadikan landasan segala tindakan, artinya berfungsi sebagai kompas bagi kehidupan. Dalam hal ini manusia mampu melakukannya, apalagi nabi, yaitu menunjukkan jalan kebenaran kepada manusia, artinya menerangkan dengan sebaik-baiknya maksud Al-Qur’an.
Al-Qur’an sebagai jalan kehidupan adalah menjalankan segala ajaran dalam Kitab itu. Dalam hal ini Allah menegaskan bahwa hanya Dia yang mampu memasukkan iman itu ke dalam hati manusia dan menggerakkannya untuk melaksanakannya.
Salah satu bentuk hidayah Allah kepada manusia adalah diberi-Nya mereka indera serta pikiran dan hati sanubari (16:78), dengan semuanya itu manusia mampu menemukan kebenaran untuk memperoleh keselamatan di dunia dan di akhirat.
Indera dan pikiran serta hati sanubari itu perlu difungsikan untuk mendalami ayat-ayat-Nya yang tersirat yaitu alam semesta ini, dari yang sekecil-kecilnya seperti virus dan atom sampai yang sebesar-besarnya seperti planit dan kosmos, bahkan diri manusia itu sendiri. Semua ciptaan Allah itu kokoh strukturnya dan sifat-sifatnya, dan tidak mungkin ada dengan sendirinya. Manusia, jangankan untuk menciptakan semuanya itu, menciptakan sebutir pasir saja dari tiada ia tidak mampu. Yang dilakukannya “hanya” merekayasa ciptaan Allah itu. Oleh karena itu pemungsian indera dan pikiran serta hati sanubari terhadap ciptaan Allah itu seharusnya membawa kepada iman.
Di samping ayat Allah yang tersirat, terdapat ayat-ayat-Nya yang tersurat, yaitu wahyu-Nya yang terhimpun dalam kitab suci. Indera dan pikiran serta hati sanubari juga perlu dihadapkan kepada wahyu itu. Wahyu itu juga kokoh struktur dan sifat-sifatnya, bahkan lebih kokoh lagi dari struktus dan sifat-sifat alam semesta ini (59:21). Dengan mempelajari Al-Qur’an yang kokoh dan mutlak benar itu, manusia seharusnya beriman.
Allah telah memberi manusia indera dan pikiran serta hati sanubari yang mampu menemukan kebenaran, tetapi Allah masih menurunkan wahyu-Nya Tidak percayakah Tuhan kepada manusia?
Bukan tidak percaya! Tetapi karena manusia terdiri atas tubuh dan roh. Tubuh karena diciptakan dari tanah selalu menarik manusia ke bawah, kepada dosa. Roh, karena berasal dari-Nya yang berada di “atas”, selalu menarik kepada keluhuran. Tergantung manusia apakah ia akan mengikuti ajakan tanah atau ajakan roh (18:29). Allah menghendaki agar manusia meyeimbangkan antara keduanya (91:8).
Namun tidak semua orang memiliki indera yang sensitif, pikiran yang tajam, dan hatisanubari yang murni untuk mengambil pelajaran dari dunia empiris. Yang sering terjadi justru bahwa informasi dari indera, analisis pikiran, dan pertimbangan hati sanubari kalah oleh godaan nafsu. Hal itu karena “turun ke bawah”, mengikuti nafsu, lebih mudah, karena tidak memerlukan energi, sedangkan “naik ke atas”, kepada keluhuran, memerlukan energi yang besar. Untuk itulah Allah menurunkan hidayah berupa wahyu
Hidayah itu diperuntukkan bagi yang takwa. Orang yang takwa adalah orang yang terbimbing oleh imannya. Mengapakah Al-Qur’an hanya diperuntukkan bagi yang takwa? Karena wahyu itu seperti kompas, hanya orang yang tahu dan percaya kompas itu yang mau menggunakannya. Yang tidak percaya mengabaikannya, tetapi itu disayangkan karena lautan kehidupan begitu luasnya dan ombaknya begitu ganasnya. Dengan demikian hidayah itu tidak ditunggu, tetapi dicari, diterima, dan dijalankan. (Prof. Dr. H. Salman Harun, UIN Jakarta).

Senin, 12 Januari 2009

Tafsir 2:2a MENINGKATKAN KEMANUSIAAN DAN PERADABAN

MENINGKATKAN KEMANUSIAAN DAN PERADABAN

“Itu adalah al-Kitab” (2:1), maksudnya, “Itu adalah Al-Qur’an”.
Banyak nama Al-Qur’an, di antaranya “Al-Qur’an” dan “Al-Kitab” itu. Dinamai “Al-Qur’an” untuk menekankan segi terinternalisasinya teks dan pesan teks itu di dalam hati sanubari mereka yang mengimaninya, sesuai makna harfiyah qara’a-yaqra’u-qira’atan “menginternalisasikan di dalam sanubari”. Internalisasi teks adalah hafal, dan internalisasi pesan adalah menjalankanya ajaran-ajarannya. Memang demikianlah yang terjadi dalam sejarah. Banyak di kalangan umat Islam mereka yang hafal Al-Qur’an, dan dari segi pelaksanaan ajaran-ajarannya, banyak yang sudah mematuhinya di samping banyak pula yang masih mengabaikannya,.
Dinamai “Al-Kitab” untuk menekankan segi tertulis Kitab itu. Al-Qur’an sudah ditulis pada zaman Nabi saw., oleh beberapa penulis wahyu. Tulisan-tulisan itu disimpan di rumah Ibunda “Aisyah, dan belum dihimpun dalam satu kitab sampai akhir hayat Nabi saw. Pada zaman Khalifah pertama, Abu Bakar Siddiq, tujuh puluh penghafal Al-Qur’an tewas dalam suati peperangan melawan pemberontakan orang-orang murtad, Di samping itu Al-Qur’an menyebut kumpulan wahyu nabi-nabi sebelumnya “Kitab”. Adalah karena banyaknya penghafal Al-Qur’an yang tewas, kejeliannya melihat Kitab-kitab sebelumnya yang berbentuk tertulis itu, serta kesucian jiwanya, karena itulah kiranya mengapa Umar bin Khattab mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar Al-Qur’an dibukukan. Mereka sempat berdebat mengenai hal itu, karena Nabi saw. tidak perah memerintahkannya. Akhirnya Abu Bakar menerima usul itu. Pada zaman Khalifah Usman bin Affan, Al-Qur’an itu disalin beberapa buah dan dikirim ke kota-kota daerah Islam. Setelah itu Al-Qur’an terus disalin dan disalin lagi. Maka tersebarlah Al-Qur’an secara luas, apalagi setelah ditemukannya mesin cetak..
Dua nama Al-Qur’an itu mempresentasikan dua aspek aktualisasinya, yaitu internalisasi dan eksternalisasi ajaran-ajarannya. Internalissi ajaran Al-Qur’an, sebagaimana pernah disinggung, akan terus-menerus meningkatkan kemanusiaan, dan eksternalisasinya akan terus menerus meningkatkan peradaban.
Allah menunjuk Al-Qur’an dengan kata, “itu.” Berarti bahwa Allah jauh dan Al-Qur’an itu sudah berada di tengah manusia. Memang Allah dari satu segi amat jauh (transcendent) sehingga tidak terjangkau tangan, tidak terindera mata, tidak terdengar telinga, bahkan terbayang oleh hati dan pikiran pun tidak. Anda boleh mempersepsikan Tuhan, tetapi Ia bukan seperti yang Anda persepsikan itu. Dengan demikian mencari dan mendekati Tuhan itu berlangsung sepanjang hayat. Dan dengan demikian pengembangan kemanusiaan dan peradaban itu tanpa batas dan tanpa akhir.
Di pihak lain, Allah amat dekat (immanent), sampai begitu dekatnya, sehingga lebih dekat dari hati atau nyawa kita sendiri. Dengan dekatnya Tuhan, berarti bahwa ajaran-ajaran-Nya dapat diwujudkan. Dengan demikian Al-Qur’an dapat dibumikan sehingga semakin meningkatkan kemanusiaan dan peradaban itu.
Islam dalam sejarahnya pernah menjadi menyumbangkan kemanusiaan dan peradaban yang begitu tinggi, sedangkan Barat waktu itu masih gelap gulita. Pada era berikutnya konstelasi terbalik, Barat yang maju kaum muslimin tertinggal jauh, sampai sekarang. Karena itu setiap orang dari generasi umat Islam sekarang patut merenungkan, mengapa terjadi demikian, mengingat Al-Qur’an yang dipedomani sama! (Prof. Dr. H. Salman Harun, UIN Jakarta)

Rabu, 07 Januari 2009

MENGHINDAR DARI ORANG-ORANG BERGAJUL

MENGHINDAR DARI ORANG-ORANG BERGAJUL

Oleh

Prof. Dr. H. Salman Harun


Kemarin ada mahasiswa dalam kelas bertanya, “Kalau orang bergajul dihindari, ia akan semakin menjadi-jadi, Pak”

Mahasiswa itu bertanya tentang maksud Surah al-A’raf/7:199 yang artinya, “Ambillah kemaafan, mintalah berbuat makruf, dan menghindarlah dari orang-orang bergajul.”

Ayat itu berbicara tentang orang-orang kafir Makkah yang menyembah berhala. Mereka salah, masak berhala dianggap Tuhan. Terhadap mereka, Nabi diminta oleh Allah untuk menyikapi dengan banyak memberikan maaf, karena mereka belum mengerti. Juga menyikapinya dengan bertindak wajar (‘urf itu adalah sesuatu yang lumrah dikerjakan, tidak aneh-aneh). Artinya Nabi diminta agar bertindak wajar, tidak kasar, patah hati atas pembangkangan mereka, dsb.

Namun ada sekelompok mereka yang jahilin. Jahil maknanya bukan bodoh dalam arti dungu. Zaman jahiliyah, misalnya, bukan berarti orang-orangnya bodoh. Justru zaman jahiliyah adalah zaman kemajuan sastra dan ekonomi. Yang dimaksud dengan jahilin adalah orang yang tidak berakhlak, pandangan picik, dan tindakan jahat dipandang dari sudut norma-norma agama. Mereka lebih tepat disebut orang bergajul.

Nah, terhadap orang bergajul inilah kita harus menghindar. Orang bergajul pikirannya singkat. Di samping itu, ia tidak segan-segan mengambil tindakan pisik. Orang seperti itu, bila disikapi dengan kedua sikap di atas tidak akan mempan. Yaitu, bila terus-menerus diberi maaf, ia akan menjadi-jadi. Bila dipergauli seperti biasa, ia akan tak tahu diri. Yang pantas bagi orang seperti itu adalah tindakan hukum. Jadi, orang bergajul, hindarilah secara wajar. Tetapi bila ia berbuat jahat, yang berbicara adalah hukum.

Ciputat, 7 - 1 - 9
Salman Harun

Selasa, 06 Januari 2009

PAKAIAN TAQWA LEBIH BAIK

PAKAIAN TAQWA LEBIH BAIK

Oleh

Prof. Dr. H. Salman Harun


Kemarin seorang mahasiswa di dalam kelas bertanya, apa maksud ayat yang terjemahannya, ”Wahai anak-anak Adam, Kami sungguh telah menurunkan pakaian kepada kalian yang menyembunyikan ketelanjangan-ketelanjangan kalian, dan juga bulu. Pakaian takwa itulah paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian ayat-ayat Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Surah al-A’raf/7:26). Apakah itu artinya bahwa kita boleh membuka aurat, asalkan kita takwa?

Dari ayat itu dipahami bahwa Allah telah menyiapkan tiga jenis pakaian bagi manusia: pakaian jasmani, bulu, dan pakaian takwa.

Allah telah menurunkan pakaian maksudnya telah menyediakan bahan-bahan untuk dibuat pakaian jasmani. Sau’at terambil dari akar kata su’ ‘jelek’: sau’at karena itu berarti sesuatu yang tidak pantas dilihat orang lain, yang diterjemahkan dengan “ketelanjangan-ketelanjangan”. Maksudnya adalah aurat. Dan yuwari maknanya adalah “menyembunyikan”, bukan sekedar menutup, karena membalut tubuh dengan pakaian tetapi pakaian itu ketat, misalnya, justru semakin menambah aurat itu tertonjol-tonjol. Dengan demikian guna pakaian tidak hanya sekedar menutup aurat, tetapi meredam dan menyembunyikan aurat-aurat, ketelanjangan-ketelanjangan, dan rahasia-rahasia kita, sehingga aurat itu tidak diketahui orang lain. Orang yang telanjang berarti tidak memiliki apa-apa lagi untuk dirinya.

Di samping pakaian yang berfungsi menutup aurat, Allah juga menyiapkan bulu untuk kita. Maksudnya perhiasan, baik berupa bulu atau lainnya seperti kulit, emas, berlian, dsb. Dengan demikian Allah menghendaki manusia tidak hanya berpakaian yang menyembunyikan aurat, tetapi juga memakai perhiasan, asesoris, dsb. Jelas pulalah bahwa Allah menghendaki manusia berpenampilan yang baik. Untuk itu terbukalah kesempatan untuk berkreasi, menciptakan mode supaya terlihat indah, dengan syarat utama: aurat tertutup dan tersembunyi. Dengan demikian jelaslah salahnya pandangan bahwa menutup aurat itu mematikan kreativitas.

Pakaian takwa adalah pakaian rohani, yaitu iman yang kukuh dan perbuatan-perbuatan baik. Pakaian takwa lebih baik tidak mungkin berarti bahwa boleh tidak menutup aurat dan yang penting adalah takwa. Memang ada pendapat seperti itu yang di antaranya dilontarkan orang ketika sedang maraknya tayangan ”ngebor” di stasiun-stasiun tv kita, dan muncul pula ketika mereka menentang RUU Pornografi dan Pornoaksi. Itu adalah pendapat serampangan, yang menunjukkan bahwa mereka tidak pernah belajar atau tidak pernah mendalami Al-Qur’an.

Pakaian takwa tidak mungkin berarti membolehkan membuka aurat. Pakaian jasmani itu dasar, mutlak, pakaian takwa lebih baik. Sesuatu ”yang lebih baik” tidak mungkin meniadakan ”dasar”. Bila kita katakan ”dua juta” lebih baik dari ”satu juta”, sudah pastilah bahwa satu juta termasuk dalam dua juta. Bila dikatakan BMW lebih baik dari Corolla, sudah pastilah mengandung perbandingan harga dan harga Corolla sudah masuk dalam harga BMW.

Pakaian takwa lebih baik maksudnya iman dan perbuatan baik lebih baik. Seseorang yang berpakaian menyembunyikan auratnya tetapi tidak takwa, maka pakaian jasmaniahnya itu akan segera copot begitu datang godaan. Seseorang yang berapapun besar sorbannya, tetapi tidak ada takwanya, maka sorban itu akan terpental begitu ada godaan. Seorang yang takwa adalah seorang yang beriman dan berbat baik, dan tanda imannya dan perbuatan baiknya adalah bahwa ia terlebih dahulu menyembunyikan auratnya, karena itu adalah dasar dan prasyarat mutlak takwa.

Jakarta, 7 – 1 – 9

Salman Harun

SEBAGIAN MAKNA HIJRAH DALAM AL-QUR’AN

SEBAGIAN MAKNA HIJRAH DALAM AL-QUR’AN
(Tafsir Surah al-Nisa’/4:97-100)
(Khutbah di Masjid Ibnu Umar, Bintaro, 2-1-9)
Oleh
Prof. Dr. H. Salman Harun


Ayat 97:
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, para malaikat bertanya, "Bagaimana kalian ini?" Mereka menjawab, "Kami dulu tertindas di bumi." Mereka (para malaikat) berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas, kalian dapat berhijrah di dalamnya?" Mareka itu tempatnya Jahannam, dan itulah tempat kembali yang paling buruk,”

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat”:

Setiap manusia, kalau begitu, pasti mati, tidak ada yang abadi di dunia. Dan yang mewafatkan itu malaikat, petugas Allah, bukan petugas manusia, karena itu pewafatan itu pasti terlaksana, karena malaikat itu tidak pernah berbuat curang. Cara pewafatannya dalam ayat lain (al-Anfal/8:50) disebutkan bahwa orang-orang yang berdosa sampai dipukuli muka dan pinggul mereka supaya ruh mereka keluar, karena ruh itu lari ke setiap sel-selnya yang paling kecil. Orang-orang yang baik-baik cukup ruhnya dipersilahkan meninggalkan jasadnya, ruh itu akan keluar dengan sukacita.

“Dalam keadaan menganiaya diri sendiri”
Yaitu berdosa, di antaranya tidak mau berhijrah. Kasusnya mengenai hijrah dari Makkah ke Madinah pada zaman Nabi saw. Setelah itu kasusnya diterapkan kepada siapa saja yang tidak mau berinisiatif mencari kebebasan, kemerdekaan, dsb., dan memperbaiki keadaan dari kondisi yang tidak/kurang baik kepada kondisi yang lebih baik lagi.

“Malaikat bertanya, "Bagaimana kalian ini?"
Pertanyaan itu isyarat bahwa yang bersangkutan tidak orang baik. Bila orang itu baik tentu malaikat akan menyapanya dengan salam.

“Mereka menjawab, ‘Kami dulu tertindas di bumi (Mekah).’
Mustadh’afin makna harafiyahnya adalah “mereka yang dibuat tak berdaya”. Setiap manusia diberi oleh Allah energi, kekuatan, dan kemampuan. Bila manusia lemah, itu tanda ada unsur luar yang membuatnya lemah, dan itu harus diatasi.

“Mereka (para malaikat) berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, kalian dapat berhijrah di dalamnya?’

Tertindas dengan demikian tidak dapat dijadikan alasan untuk lemah. Ketertindasan secara politik, ekonomi, sosial, dsb. tidak boleh didiamkan, tetapi harus diatasi. Caranya: migrasi. Bila tidak migrasi, membebaskan diri dari ketertindasan itu.

”Mereka itu tempatnya Jahannam, dan itulah tempat kembali yang paling buruk,”
Jahannam adalah neraka yang paling dalam, karena itu tentu amat dahsyat. Tidak mau migrasi atau berusaha membebaskan diri dari ketertindasan, jangan dikira akan dikasihani Allah. Justru dihukum dengan hukuman yang paling berat.

Ayat 98:
Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah),

Yang perlu diselamatkan tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan dan anak-anak. Ketertindasan baru dapat dimaafkan bila semua mereka itu memang tidak mampu bergerak karena sakit atau sangat berbahaya. Atau sudah berusaha tetapi tidak menemukan celah untuk jalan keluar.

Ayat 99:
”Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.


Ungkapan ”mudah-mudahan” mengandung arti bahwa upaya mengatasi kesulitan sangat diperlukan. Allah hanya akan menerima penyerahan bila yang bersangkutan betul-betul telah berusaha terlebih dahulu mengatasi kesulitan.

Ayat 100:
Siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat keberhasilan yang banyak dan rezki yang luas. Siapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, maka sungguh pahalanya telah ada di sisi Allah. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat keberhasilan yang banyak dan rezki yang luas.

Tempat baru akan lebih menjanjikan: dakwah akan lebih lancar dan rezeki akan lebih banyak, sebagaimana dibuktikan oleh Nabi saw. dengan hijrah ke Madinah.

Siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, maka sungguh pahalanya telah ada di sisi Allah.

Begitu ia melangkah ke luar rumahnya, pahala itu sudah diberikan Allah. Bila ia meninggal pada saat itu, ia masuk surga. Jadi, yang dilihat Allah adalah upaya, tidak hanya hasil. Begitulah kemahapengampunan dan kemahapengasihan Allah.


Salman Harun

PERINTAH BERPERANG KEPADA NABI SAW.

PERINTAH BERPERANG KEPADA NABI SAW.
(Tafsir Surah al-Nisa’/4:84-87)
(Bahan ceramah di PSQ Ciputat}

Prof. Dr. H. Salman Harun


Ayat 84:
Maka berperanglah engkau pada jalan Allah, tidaklah engkau dibebani melainkan dengan kewajibanmu sendiri.

Perlu terlebih dahulu digarisbawahi bahwa perang dalam Islam seluruhnya dalam rangka membela diri (defensif) (S. 2:190). Berperang melawan musuh sesungguhnya tugas seorang pemimpin, bila perlu ia sendiri menghadapinya. Dengan demikian seorang pemimpin harus seorang yang kuat dan berani.

Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang).
Supaya ia tidak berperang sendiri dan supaya kemenangan dapat dicapai, seorang pemimpin harus mampu menggerakkan masyarakat.

Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya).
Berdasarkan kemampuan seorang pemimpin dan partisipasi masyarakat itulah Allah memberikan kemenangan, yang menunjukkan bahwa kedua faktor itu sangat menentukan.

Ayat 85:
Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya.
Syafaat adalah upaya memediasi untuk membantu mencarikan jalan keluar bagi orang yang dalam kesulitan agar orang itu dapat melaksanakan kewajibannya atau terlepas dari bahaya.
Mediasi dalam kasus ini adalah mencarikan jalan keluar bagi orang-orang yang tidak memiliki biaya yang cukup untuk ikut perang, dengan menghubungi orang-orang yang memiliki kemampuan. Dalam hal seperti itu, baik yang membantu maupun yang menjadi mediator memperoleh pahala. Jadi, di sini peran mediator, negosiator, dan pendukung di garis belakang sangat dihargai.

Dan barangsiapa memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul ganjarannya.
Sebaliknya, seorang yang menjadi mediator untuk melemahkan pasukan Islam mendapat ganjaran dosa. Kasusnya dalam ayat ini adalah orang-orang yang menjadi perantara dari orang-orang yang ingin tidak ikut perang (Badar), agar Nabi saw mengizinkan mereka. Mediasi seperti itu berdosa.

Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Allah Maha Penjaga dan Maha Pemelihara segala sesuatu, yaitu menjamin diterimanya imbalan oleh orang yang berbuat baik, dan diterimanya ganjaran oleh yang berbuat jahat.

Ayat 86:
Apabila kalian dihormati dengan suatu penghormatan, maka hormatilah dengan (penghormatan) yang lebih baik, atau kembalikan (dengan yang serupa)

Arti harfiyah hayya adalah ”memberi kehidupan”. Maksudnya memberi penghormatan, karena penghormatan itu seakan-akan memberikan kehidupan bagi yang menerimanya. Penghormatan itu dalam konteks ayat ini adalah mengucapkan salam, assalamu'alaikum. Salam adalah doa keselamatan tidak hanya untuk hidup di dunia tetapi juga untuk di akhirat. Dengan demikian ucapan salam tak ternilai harganya, karena itulah perlu dibalas dengan yang lebih baik, yaitu assalamu ’alaikum warahmatullah (wa barakatuhu).
Jadi, dalam peperangan yang kalah perlu dihormati, dan orang yang telah mengucapkan salam tidak boleh diperangi (4:94), karena itu adalah tanda penyerahannya dan ketundukannya.

Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.
Allah Maha Penghitung: cepat dan akurat, dan membalasinya dengan tepat, cepat, dan akurat pula.

Ayat 87:
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.
Allah Yang maha penghitung itu adalah Allah yang Maha segala-galanya, yang mengetahui apa pun perbuatan manusia dan hanya Ia yang mampu membalasi dan mengganjarnya. Karena itulah hanya Ia yang patut dipertuhan dan dipatuhi perintah dan larangan-Nya,

Sesungguhnya dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya.
Allah akan menghimpun manusia nanti di akhir usia dunia dan mulainya kehidupan akhirat. Peristiwa itu pasti karena Allah Mahakuasa dan tidak bohong. Manusia perlu mempersiapkan dirinya dengan mematuhi perintah-Nya semasa hidup di dunia, di antaranya dengan melawan musuh yang menyerang, menghormati yang setia, dan memberi sanksi yang tidak setia.

Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ?
Pengetahuan manusia terbatas karena itu ucapan manusia terbatas pula kebenarannya. Allah pengetahuan-Nya melampaui ruang dan waktu, karena itu kebenaran firman-Nya melampaui ruang dan waktu itu. Oleh karena itu patuhilah semua perintah-Nya dan larangan-Nya, jangan ragukan adanya Hari Akhirat, dan siapkanlah diri menghadapinya di antaranya dengan kesiapan membela diri dalam menghadapi penyerang.

Kesimpulan:
Di antara etika peperangan:
1. Pemimpin bertanggung jawab atas kekalahan atau kemenangan
2. Yang dipimpin harus menjawab seruan pemimpin dan mematuhinya
3. Pasukan itu tidak hanya yang berada di garis depan, tetapi juga ”pasukan belakang”, yang terdiri tenaga-tenaga ahli, politikus, negosiator, mediator, dsb.
4. Yang menang tidak boleh semena-mena tetapi menghormati yang kalah
5. Kematian adalah gerbang kehidupan baru yang abadi di akhirat. Manusia harus berjuang dalam hidupnya di dunia, buah perjuangannya itulah yang akan diterimanya nanti di akhirat.

Ciputat, 3 Desember 2008

Jumat, 02 Januari 2009

KETERBATASAN MANUSIA

KETERBATASAN MANUSIA

(Prof. Dr. H. Salman Harun, UIN Jakarta)

Alif Lam Mim (2:1)

Itu adalah ayat pertama Surah al-Baqarah, yang merupakan satu singkatan terdiri tiga huruf: alim, lam, dan mim. Transliterasi huruf-huruf itu adalah “a, l, m”. Tentu saja siapa pun tidak tahu apa makna singkatan itu yang sesungguhnya, apalagi Rasulullah saw. tidak pernah menjelaskannya.

Memang ada informasi dari Ibnu Abbas, paman dan sahabat Nabi yang masih kecil pada waktu beliau hidup, bahwa kepanjangan sigkatan itu adalah Allah ‘Alim Majid, “Allah Mahatahu Mahamulia.” Tetapi itu merupakan pendapat pribadi yang tidak pasti kebenarannya.

Karena maknanya yang pasti itu tidak dapat diketahi, maka para ulama banyak yang hanya memberinya komentar, Allahu a’lamu bi muradihi “Allahlah yang lebih tahu maksudnya.” Dengan menyatakan bahwa hanya Allah yang lebih tahu maksudnya itu berarti bahwa Allah telah melakukan sesuatu yang tidak gunanya, berarti Allah telah berbuat sia-sia. Tetapi itu tidak mungkin, karena Allah Mahasempurna, karena itu penyampaian ayat yang tidak diketahui maknanya itu pasti punya maksud.

Maksudnya adalah bahwa ketika Allah menyampaikan pernyataan yang tidak dipahami manusia, paling kurang hal itu berarti Allahl hendak menyampaikan pesan bahwa hanya Ia-lah yang Mahatahu sedangkan manusia tidak tahu apa-apa bila Allah tidak memberitahunya. Dengan begitu Allah hendak menyadarkan manusia bahwa, di dalam begitu banyak segi keunggulannya, ia memiliki sisi kelemahan, yaitu bahwa bagaimana pun pengetahuannya terbatas. Kesadaran itulah yang ingin ditanamkan Allah pada manusia.

Implikasi dari kesadaran itu akan sangat luas. Bila manusia sadar bahwa Allahlah yang Mahatahu sedang ia tidak tahu, maka manusia tentulah perlu mempercayai apa saja yang difirmankan-Nya selanjutnya sampai akhir Al-Qur’an. Al-Qur’an penuh berisi nilai-nilai yang menjamin terwujudnya manusia yang berkemanusiaan sejati Dengan demikian mendalami, menghayati, dan menjalankan nilai-nilai yang diajarkan Al-Qur’an akan menjamin terbentuknya kemanusiaan sejati itu

Selanjtnya, firman Allah tidak hanya ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi juga alam semesta ini. Manusia dengan demikian perlu pula menggali rahasia alam semesta. Dengan dermikian, penggalian rahasia alam semesta akan meningkatkan penguasaan manusia atas ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu peradaban.

Kemanusiaan dan peradaban hanya milik manusia. Kemanusiaan dan peradaban menentukan martabat manusia dan kebahagiaan manusia sampai akhir zaman serta di dunia dan di akhirat. Sebagai bagian dari umat manusia di atas bumi ini, bangsa Indonesia perlu pula meningkatkan kemanusiaan dan peradabannya. Pembangunan mental dan pisik dengan demikian perlu dijalankan sejalan.

Pembangunan mental dan pisik itu memerlukan adanya suatu sistem pendidikan yang tepat, yang dijalankan oleh sumber daya manusia yang kompeten, dan didukung oleh dana yang cukup. Di antara tiga komponen itu, penyediaan dana merupakan kendala terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, sekali pun UUD sudah menegaskan perlunya disediakan dana sebesar 20% dari anggaran negara.

Kemajuan bangsa ditentukan oleh kualitas sumbar daya manusia yang mengelola setiap aspek kehidupan bangsa itu. Kualitas itu ditentukan oleh kualitas pendidikan di negara itu. Kualitas pendidikan adalah kunci kemajuan suatu bangsa.

Demikianlah, maksud Surah al-Baqarah ayat 1 ini antara lain menghendaki manusia agar menyadari keterbatasannya dan mengatasi keterbatasan itu dengan suatu sistem pendidikan yang baik yang dapat dijalankan.