Institute Islam terutama tentang Al-Qur'an dan tafsir. Jln. Ibnu Sina I/25 Kompleks UIN Ciputat, Tangerang, Banten, Indonesia, 15419. Email: salmanhar2000@yahoo.com
ADA EMPAT KATA KUNCI (PERSOALAN POKOK) isi Surah al-Nahl:
Kiamat, kuasa Allah, al-Qur’an dan Islam.
Pesannya: kiamat pasti datang tidak perlu diminta-minta;
yang diperlukan adalah persiapan untuk menghadapi kiamat atau kematian itu.
Allah Mahakuasa mewujudkan kiamat/kematian itu. Buktinya: Ia
mampu menciptakan alam semesta beserta segala isinya yang sekaligus merupakan
nikmat bagi manusia.
Begitu juga mengenai al-Qur’an: ia bisa menciptakan dan
menurunkannya kepada Nabi-Nya. Oleh karena itu jangan ragukan Kitab Suci itu,
imani, dan bergabunglah ke dalam Islam supaya memperoleh keselamatan di dunia
dan di akhirat.
Sekali lagi bergabunglah ke dalam Islam. Islam adalah agama tauhid
yang berasal dari Allah, diberikan pertama kali kepada Ibrahim, diteruskan oleh
nabi-nabi berikutnya terutama Nabi Musa dan Nabi Isa, dan diterima kembali Nabi
Muhammad. Dasar agama itu adalah segala kuasa Allah dan nikmat-Nya, seperti
segala bunga yang menjadi sumber madu lebah. Ajaklah manusia ke dalamnya,
tetapi ajakan itu harus dengan bijak dan penuh kasih sayang. Bila Islam
didakwahkan dengan penuh bijak dan kasih saying, maka ia akan bermanfaat luar
biasa sebagaimana madu lebah.
1 : Jangan minta-minta azab dipercepat
2 – 8: kuasa Tuhan ciptakan (beri) nikmat
9 : Tujulah (carilah/dekatilah) Tuhan
10 – 16: kuasa Tuhan ciptakan (beri) nikmat
17 - 25: hanya Allah yg pantas dipertuhan
17:
Pencipta tdk sama dg yang dicipta
18: Nikmat
yang diciptakan tdk akan bisa dihitung
19: kuasa
Tuhan mngetahui yang nyata dan tersembunyi
20-21:
“tuhan-tuhan” itu tdk ada yang bisa mencipta, semuanya itu mati
22-23:
Tuhan itu Esa, yg tidak imani tanda hati bermasalah, sombong
24-25:
pengingkaran terhadap Q berdosa yang ditanggung sendiri dan yang disesatkan
26: umat-umat terdahulu dimusnahkan karena pembangkangan dan
di hari kiamat diazab
27-32: suasana kiamat bagi yang iman dan yang ingkar
33-34: berimanlah sebelum azab/kiamat itu datang
35-40: helah kaum kafir bahwa Allah yang mengendaki mereka
demikian, dan bantahannya rasul telah diturunkan, dan mereka telah bekerja
dengan baik, mereka saja yang tidak mau menerima
Ayat 1, karena hanya Allahlah hanya yang mengetahui
maknanya, mendorong manusia untuk mengikuti dan mendalami apa pesan Allah pada
ayat-ayat berikutnya. Pesan itu adalah (ayat 2) bahwa Al-Qur’an itu turun
bertahap yang berasal dari Tuhan yang Maha mencipta dan Maha Mengelola alam
ini. Allah dengan demikian Mahakuasa, termasuk dalam menurunkan firman-Nya
kepada Rasul-Nya. Karena itu imanilah.
Ayat 3: Tuduhan terhadap Al-Qur’an dan Bantahan
terhadapnya
Allah bertanya, “Apakah mereka menuduh Al-Qur’an itu
diada-adakan oleh Nabi-Nya?” Tuduhan itu tidak layak sama sekali dikemukakan,
karena ia kebenaran sejati “dari Tuhan-Mu, ya Muhammad,” menyapa Nabi-Nya untuk
membelanya. Bukti bahwa Kitab itu kebenaran sejati, ia dijadikan bahan
peringatan olehnya bagi kaumnya, bangsa Arab, yang sebelumnya belum pernah
kedatangan seorang pemberi peringatan pun. Diharapkan Kitab itru dapat menjadi
petunjuk bagi mereka dan dari sana menunjuki seluruh alam.
Ayat 4-9: Penguatan Bantahan dengan Mengemukakan
Bukti-bukti Kekuasaan Allah
Allah yang menurunkan Al-Qur’an itu adalah Tuhan yang telah
menciptakan langit dan bumi beserta kosmos yang mengantarainya (ayat 4).
“Langit” adalah alam semesta (universe). Sebagaimana diketahui alam
semesta itu berisi 1011 (100M) galaksi, dan satu galaksi berisi 1011
tatasurya, dan 1 tatasurya berisi 8 planet, dan 1 planet memiliki 1
sampai 12 satelit (bulan). Dan alam semesta itu sendiri bukanlah hanya satu,
tetapi banyak sekali (dalam Al-Qur’an disebut “tujuh” yang dapat berarti “tak
terhingga”).
Selesai menciptakan, Ia duduk di singgasana-Nya. Maka
mulailah Ia mengatur alam-alam itu. Kemampuan pengaturan itu begitu cepatnya
dimana satu hari dilukiskan sama dengan seribu tahun dalam hitungan manusia
(ayat 5). Pengaturan itu dilakukan oleh petugas-petugasnya yaitu para malaikat.
Allah tahu baik yang tak terindera, seperti para malaikat itu dan kerja mereka
sebagai pelaksana pengaturan, dan alam yang nyata sebagai yang diatur (ayat 6).
Bukti lain kuasa Allah adalah penciptaan segala sesuatu
secara sempurna, termasuk penciptaan manusia (ayat 7). Penciptaan manusia
dijelaskan secara khusus, sekali lagi untuk menunjukkan kuasa-Nya, yaitu Ia
menciptakannya dari tanah mengandung air (thin). Itu adalah Adam.
Selanjutnya anak cucunya diciptakan-Nya dari saripati tanah itu (sperma dan
ovum) (ayat 8). Allah kemudian memberi manusia itu pendengaran, penglihatan,
dan hati, yang membuatnya menjadi makhluk istimewa. Menjadi makhluk istimewa,
yang diberi tanggung jawab sebagai khalifah dengan kebebasan memilah dan
memilih, manusia itu seharusnya bersyukur kepada-Nya sebagai Pemberi, tidak
malah membangkang kepada-Nya, di antaranya dengan menuduhkan yang bukan-bukan
kepada Kitab Suci-Nya itu (ayat 9).
Ayaat 10-14: Keingkaran berikutnya dari Orang-orang kafir
Makkah dan Bantahan terhadapnya
Keingkaran itu tertuju kepada hidup sesudah mati. Mereka
memustahilkan kemungkinan hidupnya manusia kembali setelah hilang menjadi
tanah. Pernyataan itu langsung dijawab, bahwa sebenarnya mereka sadar telah
bergelimang dosa lalu ingin menghindari pertanggungjawabannya di hadapan Allah
(ayat 10). Allah menegaskan bahwa siapa saja akan dicabut nyawanya oleh
malaikat maut, kemudian dihidupkan kembali, lalu dihadapkan kepada Allah untuk
mempertanggungjawabkan semua perbuatannya (ayat 11).
Allah kemudian menyapa Nabi-Nya, Muhammad saw., untuk
dirasakan lebih menyakitkan bagi orang-orang kafir, bahwa orang-orang kafir itu
nanti di akhirat akan menyesal lalu menundukkan kepala dan mengakui bahwa azab
yang diancamkan kepada orang kafir, dan surga bagi orang beriman, itu benar
adanya. Mereka pun menyatakan iman mereka dan mohon dapat dikembalikan sebentar
saja ke dunia untuk bisa berbuat baik (ayat 12). Namun Allah menyatakan bahwa
hal itu tidak mungkin dilakukan. Kesempatan untuk beriman dan berbuat baik
sudah diberikan cukup sekali di dunia. Ia bisa membuat manusia beriman
semuanya, tetapi Ia tidak mau melakukan demikian, Titah-Nya adalah memberi
manusia kebebasan memilah dan memilih, dan berdasarkan pilihannya itulah Allah
membalasinya. Mereka yang memilih dosa pasti dijebloskan ke dalam neraka
Jahannam (ayat 13). Itulah akibat tidak mengakui kehidupan akhirat itu (ayat
14).
Ayat 15-17: Keberuntungan Orang yang Beriman
Sebaliknya mereka yang beriman mengakui sepenuhnya
Al-Qur’an. Begitu yakinnya mereka sehingga mereka tersungkur sujud ketika
ayat-ayat dibacakan (ayat 15, sunat sujud tilawah). Mereka mengurangi
tidur dan banyak salat malam (tahajjud), berdoa, dan menelaah ayat-ayatnya.
Siang hari mereka giat mencari rezeki dan menolong sesama (ayat 16). Maka balasan
yang akan diberikan Allah adalah sesuatu yang luar biasa yang terbayangkan saja
waktu di dunia tidak pernah (ayat 17).
Ayat 18-22: Perbandingan Orang yang Beriman dan Orang
yang Fasik
Mereka tidak sama (ayat 18). Yang beriman akan masuk surga,
itu adalah balasan perbuatan baik mereka (ayat 19). Yang fasik (tahu kebenaran
tetapi dengan tegarnya melanggarnya) akan masuk neraka, itu adalah konsekuensi
logis pengingkaran mereka terhadap segala yang disampaikan kepada mereka
mengenai akhirat. Begitu dahsyat azab itu sehingga mereka selalu berusaha untuk
keluar. Tetapi usaha itu tidak pernah berhasil, karena setiap mereka berusaha
keluar, mereka dikembalikan lagi ke dalamnya (ayat 20). begitulah dahsyatnya
azab akhirat. Sebelumnya mereka sudah diperingatkan dengan berbagai siksa
dunia, yang merupakan azab kecil, dengan harapan mereka sadar, tetapi mereka
tidak sadar-sadar juga (21). Mereka yang menolak kebenaran ayat-ayat Allah
adalah manusia-manusia pedosa terberat (ayat 22).
Ayat 23-25: Persambungan Misi Nabi Muhammad dengan Misi
Nabi Musa
Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad bukanlah
karang-karangan beliau, tetapi adalah wahyu Allah. Ajaran yang dibawanya adalah
sambungan dari ajaran yang dibawa Nabi Musa. Bila Taurat adalah bimbingan bagi
Bani Israil, Al-Qur’an adalah bimbingan bagi kaum Quraisy (ayat 23). Bila
sebagian Bani Israil menolak ajaran yang dibawa Nabi Musa, kaum Quraisy
hendaknya jangan bersikap demikian. Bila sebagian pemuka Bani Israil menerima
Taurat, seluruh pemuka Quraisy diharapkan menerima Al-Qur’an (ayat 24). Nanti
di hari akhirat mereka yang iman dan mereka yang kafir pasti dipisahkan tempat
mereka. Karena itu nasib malang akan dirasakan orang menolak kebenaran, dan
kebahagiaan akan diperoleh orang menerima kebenaran (ayat 25).
Ayat 26-27: Jadikanlah Alam Terkembang dan Alam Rohani
sebagai Guru
Peristiwa masa lampau (sejarah) hendaknya dapat menjadi
pelajaran bagi manusia untuk beriman. Hal itu berbentuk kehancuran yang dialami
bangsa-bangsa terdahulu yang hanya meninggaalkan nama dan puing-puing peradaban
mereka yang sudah tinggi itu (ayat 26). Juga seharusnya dapat menjadi pelajaran
bagi manusia peristiwa-peristiwa alam, di antaranya hujan yang dapat membuat
tanah yang mati menjadi subur (ayat 27). Pelajarannya adalah bahwa manusia yang
sudah mati tidak mustahil bagi Allah menghidupkannya kembali, mungkin dengan
meyiraminya dengan “air kehidupan”. Manusia jangan mengikuti sebagian kaum
Quraisy yang berhati majal (tumpul) itu.
Ayat 28-30: Menyikapi yang Berhati Majal
Mereka yang sudah tak ada harapan lagi tidak menjadi sadar
dengan pewristiwa-peristiwa sejarah dan alam itu. Mereka bahkan menantang kapan
umat Islam itu menang, atau kapan kematian, atau kapan hari kiamat itu (ayat
28). Allah tidak menjawab pembangkangan mereka, tetapi menasehati agar segera
beriman, karena kalau semua peristiwa itu datang, keimanan itu tidak akan
diterima (ayat 29). Allah pun meminta Nabi-Nya, Muhammad saw., agar tidak
menolerir pembangkangan itu. Cukuplah sudah upaya yang dilakukan, tinggallah
sekarang menunggu saat yang dijanjikan dimana yang beriman akaan menerima
imbalan kebaikannya dan yang kafir akan merasakan ganjaran kejahatannya (30).
Sebelum terlambat, sebagai tema pokok Surah ini, Imanilah
Al-Qur’an dan laksanakanlah ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya, agar
selamat baik di dunia maupun di akhirat. Semoga!
Kekejaman
dan pengusiran yang dialami oleh manusia jelas merupakan perkosaan
atas hak-hak asasi manusia (HAM). Menghadapi hal itu Islam memiliki sejumlah
ajaran, di antaranya Q. 22:39-40:
39. Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang
diperangi, karena mereka sungguh-sungguh telah dianiaya. Dan sungguh Allah
benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu,
40. (Yaitu)
orang-orang yang telah diusir dari negeri mereka tanpa alasan yang benar selain
hanya karena mereka berkata, "Tuhan kami adalah Allah". Dan sekiranya
Allah tidak membela sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah wihara-wihara,
gereja-gereja, sinagog-sinagog, dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak
disebut nama Allah, telah dirobohkan. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang
yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha
Perkasa,
Ayat
39 merupakan izin pertama bagi umat Islam untuk berperang, setelah selama ini
mereka harus menahan diri sekalipun sampai terusir dari kampung halaman mereka
(Makkah), dan hijrah ke Madinah untuk menyelamatkan diri dan agama mereka. Syarat
diperbolehkannya mengangkat senjata itu adalah “bahwa mereka dizalimi”, jadi
dalam rangka defensif sebagai upaya terakhir bukan untuk ofensif. Jangan takut membela diri itu, karena Allah akan membantu. Hal itu
sekaligus merupakan pesan kepada agresor bahwa kekejaman dan ketiranian mereka
akan dihadapi langsung oleh Tuhan Yang Mahakuasa, karena itu mereka akan kalah.
Ayat 40 menjelaskan bentuk kezaliman
yang dialami yang atas dasar itu izin untuk meembela diri diberikan: “diusir
dari rumah atau negeri mereka tanpa dasar yang benar”. “Diusir” adalah puncak
penindasan setelah terlebih dahulu mengalami berbagai macam kekejaman sehingga
yang tertindas tidak tahan lagi lalu meninggalkan kampung halamannya. Penindasan
tidak ada alasan apa pun untuk membenarkannya. Apalagi bila alasannya adalah
perbedaan agama, karena kebebasan beragama merupakan hak asasi yang paling
dasar yang diberikan Tuhan melekat pada diri manusia.
Penindasan yang latar belakangnya
bermuatan agama adalah puncak kekejaman, oleh karena itu tidak bisa lagi
dibiarkan. Oleh karena itulah Allah akan “membela sebagian dengan sebagian”. Maksudnya:
Allah akan turun tangan membela yang ditindas dengan memunculkan sikap
penentangan dari pihak lain karena penindasan itu bertentangan dengan hati nurani
manusia. Ayat ini ditujukan kepada umat Islam. Oleh karena itu ayat ini
sebenarnya sekaligus mengandung pesan pula kepada umat Islam agar berada terdepan
dalam kelompok “sebagian” yang membela yang tertindas itu. Perjuangan mereka
akan dibantu Allah, artinya akan memperoleh kemenangan. Hukum membantu perjuangan
itu paling kurang fardhu kifayah. Membantu perjuangan untuk melepaskan diri
dari penindasan balasannya adalah surga. Tetapi bila tidak ada yang membantu
maka semua mereka masuk neraka.
Bila tirani dibiarkan dan tidak ada
yang membantu yang ditindas, maka “wihara-wihara, gereja-gereja,
sinagog-sinagog, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah,
telah dirobohkan”. Itu adalah puncak pemerkosaan hak-hak asasi manusia.
Sebelumnya pasti sudah terjadi perkosaan atas hak berpendapat sehingga aspirasi
politik mereka diberangus, hak bermata pencaharian sehingga bahkan pemilikan
mereka dirampas, hak pendidikan sehingga mereka dikondisikan untuk tetap dalam
kebodohan, dan hak untuk hidup sehingga dengan mudahnya nyawa mereka
dihilangkan. Bila semua pelanggaran itu terus dibiarkan maka tirani akan
melangkah lebih lanjut: melarang kebebasan beragama, bahkan akan menghancurkan
rumah-rumah ibadat tempat nilai-nilai kemanusiaan dikumandangkan.
Bila nilai-nilai tidak lagi diajarkan dan tidak lagi diindahkan,
maka hubungan antara manusia menjadi kacau, lalu timbul chaos, maka hilanglah
eksistensi manusia di alam ini. Dengan demikian membiarkan kezaliman sama
artinya dengan membiarkan manusia jahat menghancurkan alam ini. Rumah-rumah
ibadat itu mewakili seluruh umat beragama di dunia. Dengan demikian semua umat
beragama, apalagi umat Islam, perlu ikut berperan dalam membantu mereka yang
tertindas melawan kesewenang-wenangan.
Islam is not
merely a system of theology, is a way of
life and a complete civilization (H.A.R.Gibb)
Yang
perlu dilaksanakan adalah penerapan nilai-nilai yang diajarkan dalam
ibadah-ibadah rittual itu.
Syahadat,
yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah
Rasulullah, merupakan komitmen manusia untuk mematuhi perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya.
Salat dampaknya antara lain
tercegahnya yang mengerjakannya dari perbuatan dosa (al-fahsya’) dan
tidak pantas (al-munkar). Ketercegahan itu, sebagaimana dipahami dari
hadis tidak secara serta merta tetapi lambat laun (satamna’uhu ‘akan
mencegahnya’, tegas Rasulullah). Salat membentuk pribadi menjadi manusia baik.
Zakat merupakan
bukti baiknya seseorang dan menebarkan kebaikan kepada lingkungannya.
Puasa melatih
kesabaran, menahan diiri, dan menanamkan perasaan sayang kepada sesama makhluk
terutama pada mereka yang masih berkekurangan.
Dan haji menanamkan perasaan
persatuan antara suku dan bangsa di dunia ini dan menebarkan kebaikan di
tingkat global.
Ringkasnya,
yang perlu dikerjakan setelah ibadah ritual adalah berbuat baik. Islam
menghendaki pemeluknya menjadi manusia yang baik. Berbuat baik dalam Qur’an
disebut ihsaan dan orang baik disebut muhsin. Ihsaan adalah membayar
lebih dari seharusnya dan mengambil hak kurang dari seharusnya. Salat-salat
wajib, misalnya, bila ditambah dengan salat-salat sunat, itu adalah ihsaan.
Seorang pegawai, bila jam kantornya dari jam 9 sampai jam 16, bila ia datang
jam 8 dan pulang jam 17, itu adalah ihsaan. Punya gaji Rp. 5 juta,
disedekahkan Rp. 100 ribu, atau punya utang Rp. 1 juta dan ditambah bayarnya
Rp.1.100 ribu, itu adalah ihsaan. Tetapi bila dikerjakan sebaliknya, itu
adalah zalim. Orang Indonesia sekarang tampaknya banyak sekali yang zalim,
karena punya hak Rp. 5 juta, misalnya, diambil milyaran, dan punya kewajiban pajak
sekian misalnya, pajaknya itu dikemplang (dinegokan dengan pegawai pajak).
Perbuatan
baik yang perlu dikerjakan dalam Islam tentulah banyak sekali. Dalam kesempatan
ini baiklah kita ambil perbuatan yang ditegaskan oleh Allah sebagai perbuatan ihsaan
itu. Antara lain:
1. Surah Bani Isra’il/17:23:
Dan Tuhanmu
telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.
Setelah
Allah menegeskan kewajiban beribadah kepada-Nya, Ia langsung menetapkan
kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua, yang menunjukkan begitu
tingginya kedudukan orang tua itu. Ihsaan kepada orang tua, sesuai definisi di
atas, tentulah misalnya memberikan bakti yang terbaik kepada ibu bapa kita.
Allah meminta
secara khusus perhatian anak kepada kedua orang tuanya yang benar-benar telah
tua. Frasa “di samping kalian” dalam ayat itu mengisyaratkan bahwa ibu bapa
kita itu seharusnya dirawat di dalam rumah tangga kita sendiri, kurang bagus
misalnya dimasukkan ke panti jompo kecuali bila terpaksa.
Perlakuan kepada
orang tua juga harus sehormat dan sehalus mungkin, sehingga menunjukkan rasa
kesal saja, kita tidak diperbolehkan, apalagi berkata kasar kepada mereka.
Lebih
dari itu, Allah meminta anak memberikan perlindungan penuh kepada orang tuanya
(seperti burung menaungkan sayap untuk melindungi anak-anaknya). Perlindungan
penuh tentu berarti membiayai sepenuhnya keperluan orang tuanya. (Di sini
peranan ansuransi sangat penting).
2.Surah Isra’/17:26
Dan berikanlah kepada
keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang
dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros.
Kerabat adalah
orang yang ada hubungan darah dengan kita tetapi bukan ahli waris. Ahli waris
adalah ayah dan ibu, suami atau isteri, dan anak. Saudara jadi ahli waris bila
anak tidak ada. Di luar itu adalah kerabat.
Kerabat, menurut
hadis, berhak dua hal atas kita: pemberian (sedekah) dan perhatian
(silaturrahim). Juga pemberian sukarela dari ahli waris ketika pembagian
warisan.
Orang miskin
berhak atas zakat dan bantuan lainnya.
Ibnu sabil adalah
orang terlantar di perjalanan, atau tamu. Mereka berhak atas bantuan kita
menyampaikan mereka kembali ke tempat asalnya.
3.Surah al-Nisa’/4:36:
Sembahlah Allah dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada
dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman
sejawat, ibnu sabil[295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
Ihsaan terhadap
orang tua, kerabat, dan orang miskin telah dibahas di atas.
Ihsaan terhadap
anak yatim adalah mengasuhnya sampai dwwasa. Bila mereka punya warisan, itu
harus dijaga sebaik-baiknya, jangan sampai termakan sedikit pun kecuali dalam
keadaan terpaksa, misalnya pengasuh miskin: ia boleh mengambil sekedarnya. Juga
perhatian secara umum terhadap mereka.
Ihsaan terhadap tetangga adalah
perhatian penuh sebagaimana kepada keluarga sendiri seakan-akan bisa saling
mewarisi). Nabi menegaskan bahwa berbuat jahat terhadap tetangga (berzina,
mencuri, dsb) dihukum lebih berat dari hukuman melakukannya kepada 10 bukan tetangga.
Dan ada tiga hak tetangga: hak sebagai keluarga, tetangga, dan seagama.
Teman di samping adalah
isteri/suami, sesama penumpang dalam kendaraan, teman duduk dalam suatu
pertemuan, atau rekan kerja. Ihsaan kepada mereka adalah dengan saling
membantu.
“Yang berada dalam tangan” bisa
berarti anak buah, pekerja, pembantu, atau budak. Hak mereka adaah:
kesejahteraan, tidak memberi pekerjaan yang membahayakan, dan perlakuan yang
manusiawi (seperti makan bersama).
4.Surah al-Zukhruf/43:32:
Apakah mereka
yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan.
Dalam ayat itu
Allah menegaskan bahwa rezeki manusia itu memang berbeda-beda, begitu juga kedudukan
di antara mereka. Gunanya supaya ada yang melayani segenap segmen dan sektor
pekerjaan dalam masyarakat.
5.Surah al-Mumtahanah/60:6:
Allah tidak melarang
kalian untuk berbuat baik (birr) dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari
negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Kata al-birr ‘berbakti’ biasanya digunakan
untuk bakti kepada orang tua sendiri. Kata itu pula yang digunakan untuk berbuat
baik terhadap non-muslim. Hal itu berarti bahwa perlakuan terhadap non-muslim
dapat setingkat dengan perlakuan terhadap orang tua, dengan syarat umat Islam
tidak diperangi dan diusir dari kampung halamannya karena latar belakang agama.
6.Surah al-Hujurat/49:13:
Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.
Perbedaan gender,
suku, dan bangsa itu dimaksudkan oleh Allah agar manusia bisa kenal-mengenal.
Kenal-mengenal akan memberikan dampak positif di segala bidang. (Coba Anda
bayangkan bila seseorang mengenal orang lain dengan baik. Begitu juga bila
sebuah bangsa mengenal bangsa lain dengan baik. Apa yang akan terjadi?
Keuntungan yang akan selalu meningkat dalam bidang apa pun: ekonomi, sosial,
budaya, politik, dsb.!) Semakin mengenal
semakin besar dampak positif itu. Sebaliknya, ketersumbatan komunikasi akan
menimbulkan konflik. Doktrin ini sudah diajarkan Islam semenjak lima belas abad
yll.
[1]
Disampaikan di acara buka bersama karyawan EPHINDO Jakarta 25 Juli 2012.
Anak yatim perlu dilindungi,
antara lain dengan menjaga warisannya dengan baik dan menyerahkannya kepadanya
waktu ia dewasa (ayat 2). Harta itu dilarang diserahkan bila anak itu belum
dewasa, karena ia pasti belum mengerti cara mengelola keuangan. Dinyatakan dengan
“harta kalian” pada hal harta itu adalah harta anak yatim, adalah untuk
menunjukkan bahwa kekayaan itu (sumber daya pada umumnya) harus bermanfaat untuk
masyarakat. Sumber daya itu tiang kehidupan (qiyam) karena itu jangan
dibuat percuma (tidak boleh ditimbun, dimonopoli, tetapi mengalir dengan diinvestasikan).
Anak yatim dibiayai (pangan, sandang, dsb.) dari “dalam” harta mereka, yaitu dari
keuntungannya. Berarti harta anak yatim itu perlu diinvestasikan. Modal mereka
jangan tergerus kebutuhan dan inflasi. “Ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang
baik” maksudnya perlakukan anak yatim dengan baik (Salman Harun).
“Berikanlah mahar
perempuan-perempuan itu”, perintah memberikan dengan ungkapan aatuu,
yang mengandung makna terjadinya pekerjaan antara dua pihak. Hal itu berarti
bahwa mahar wajib dibayar suami dan harus sampai dan diterima isteri, tidak
boleh ditahan atau dikurangi, misalnya, oleh wali.
Diungkapkannya mahar dengan kata shaduqaat,
bukan “mahr” ‘mahar’, yang diderivasi dari kata dasar shidq
‘benar’, mengandung arti bahwa mahar itu merupakan bukti kebenaran cinta suami
dan kebenaran keinginan dan kemampuannya bertanggung jawab. Mahar karena itu
seharusnya sesuatu yang berharga, biasanya berupa logam mulia, sebagaimana
dicontohkan Nabi Muhammad saw. Mahar dalam bentuk logam mulia juga mengandung
arti keabadian cinta, sebagaimana tidak lunturnya logam mulia tsb. (Mahar hanya
dalam bentuk seperangkat alat salat dinilai terlalu menyederhanakan lembaga
perkawinan).
“Sebagai pemberiasn tulus (nihlah)”.
Nihlah dari nahl ‘lebah’ yang mempersembahkan madu: intisari berbagai
bunga dan buah yang diambilnya tanpa merusaknya, steril, dan bermanfaat bagi
manusia. Mahar hendaknya seperti itu pula: hasil jerih payah suami, bersih bukan
hasil korupsi, dan bermanfaat bagi sang isteri. Mahar juga hendaknya diberikan
dari lubuk hati yang suci dari suami.
“Jika mereka berbaik hati
memberikan sebagiannya, makanlah dengan enak dan sedap!” Bila isteri dengan
sukarela mau memberikan sebagian mahar kepada suami, itu dibolehkan (halal),
dan nikmatilah tanpa ragu (Salman Harun).
“Jika
kalian khawatir tidak bisa memperlakukan secara setara anak yatim (dengan
perempuan biasa), maka nikahilah apa yang baik bagi kalian pada perempuan, dua,
tiga, dan empat”. Tuqshithu (masdar: iqshath) adalah membuat
neraca timbangan setara antara yang kiri dan yang kanan. Berarti anak perempuan
yatim perlu diperlakukan setara dengan perempuan biasa bila ingin dinikahi:
mereka harus juga diberi mahar dan nafkah yang layak. Bila tidak mampu
memperlakukan setara seperti itu, lebih baik tidak mengawini mereka. Mereka
yang melanggarnya akan berdosa besar.
Daripada
mengawini anak perempuan yatim secara tidak layak, yang dosanya lebih besar, lebih kecil kemungkinan mendapat dosa mengawini
perempuan biasa lebih dari seorang (poligami)secara biasa pula, yaitu dengan memberi mahar dan nafkah yang
cukup. Dan perlu diingat bahwa yang dikawini itu adalah ma ‘apa’ yang baik
yang ada pada perempuan itu, yaitu iman dan akhlaknya, bukan “siapa” perempuan
itu, seperti apakah ia bangsawan, berpangkat, kaya, dsb.
“Bila kalian
khawatir tidak bisa bersikap adil, maka seorang saja”. Syarat boleh memiliki
isteri lebih dari seorang adalah kemampuan memperlakukan
isteri-isteri itu secara adil. “Adil” adalah memberikan hak sesuai kebutuhan. Bila
laki-laki merasa tidak mampu mencukupkan kebutuhan isteri kedua, ia tidak
dibenarkan menambah isterinya.
“Itu lebih dekat
untuk tidak aniaya”. Bila ia tidak mampu lalu menambah isteri juga, orang itu
berarti telah melakukan kezaliman. Zalim berarti melakukan dosa besar.
Demikianlah hak sosial perempuan: nafkah yang cukup, dan hak sosial perempuan
yatim: kesetaraan dengan perempuan biasa (Salman Harun)