Senin, 26 April 2010

SALATBAHASAINDONESIA

Jakarta, 7 Mei 2005
Kepada Yang Terhormat,
Redaksi Metro TV
Jakarta

Salam,
Saya ingin mengomentari lebih jauh kasus salat dalam bahasa Indonesia, sebagai tambahan atas pendapat saya yang dikutip Metro TV dari Detik. Com beberapa hari yang lalu:
1. Menggunakan bahasa non-Arab dalam salat sudah menjadi bahan perdebatan di kalangan ulama Islam semenjak lama. Mazhab Hanafi membolehkannya secara mutlak, atas dasar bahwa yang disebut Qur'an itu bukan hanya kumpulan huruf dan kata dalam bahasa Arab, tetapi juga makna. Nah bila makna itu sudah terungkap, itu sudah berarti membaca Qur'an. Mazhab-mazhab lain membolehkannya dalam keadaan darurat, yaitu bila ybs. tidak bisa mengucapkannya dalam bahasa Arab. Dengan demikian persoalan itu khilafiyah/debatable. Oleh karena itu fatwa sesat bagi pelaku itu berlebihan, bahkan salah, karena ada mazhab yang membenarkannya. Dan perlu dipertimbangkan pula bahwa ybs. sedang mencari-cari kemantapannya dalam menjalankan agama.
2. Fatwa itu diiring permintaan agar ybs. ditangkap. Permintaan itu jelas emosional. Emosional berarti kekerasan. Rupanya budaya kekerasan telah merasuk ke mana-mana. Seharusnya lembaga seperti MUI dapat mengeluarkan fatwa yang menyejukkan, penuh kearifan, dan bersifat mendidik.
Nyatanya ybs. sudah ditangkap atas dasar "meresahkan masyarakat". Apakah betul meresahkan, masih menjadi tanda tanya, karea sejauh yang dapat disaksikan melalui tayangan tv, tidak ada masyarakat yang merasa terganggu. Lagi pula berapa banyak masalah khilafiyah dipertentangkan dalam masyarakat semenjak dulu sampai sekarang, dan telah menjadikan umat Islam terpecah menjadi bermazhab-mazhab, tetapi tidak pernah diselesaikan dengan penangkapan Oleh karena itu ybs. seharusnya segera dibebaskan.


Wasalam,


Prof. Dr. Salman Harun
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri
Jakarta








Jakarta, 7 Mei 2005
Kepada Yang Terhormat,
Redaksi Kompas
Jakarta

Salam,
Saya ingin mengomentari lebih jauh kasus salat dalam bahasa Indonesia, sebagai tambahan atas pendapat saya yang dikutip Metro TV dari Detik. Com beberapa hari yang lalu:
1. Menggunakan bahasa non-Arab dalam salat sudah menjadi bahan perdebatan di kalangan ulama Islam semenjak lama. Mazhab Hanafi membolehkannya secara mutlak, atas dasar bahwa yang disebut Qur'an itu bukan hanya kumpulan huruf dan kata dalam bahasa Arab, tetapi juga makna. Nah bila makna itu sudah terungkap, itu sudah berarti membaca Qur'an. Mazhab-mazhab lain membolehkannya dalam keadaan darurat, yaitu bila ybs. tidak bisa mengucapkannya dalam bahasa Arab. Dengan demikian persoalan itu khilafiyah/debatable. Oleh karena itu fatwa sesat bagi pelaku itu berlebihan, bahkan salah, karena ada mazhab yang membenarkannya. Dan perlu dipertimbangkan pula bahwa ybs. sedang mencari-cari kemantapannya dalam menjalankan agama.
2. Fatwa itu diiringi permintaan agar ybs. ditangkap. Permintaan itu jelas emosional. Emosional berarti kekerasan. Rupanya budaya kekerasan telah merasuk ke mana-mana. Seharusnya lembaga seperti MUI dapat mengeluarkan fatwa yang menyejukkan, penuh kearifan, dan bersifat mendidik.
Nyatanya ybs. sudah ditangkap atas dasar "meresahkan masyarakat". Apakah betul meresahkan, masih menjadi tanda tanya, karena sejauh yang dapat disaksikan melalui tayangan tv, tidak ada masyarakat yang merasa terganggu. Lagi pula berapa banyak masalah khilafiyah diperdebatkan dalam masyarakat sampai sekarang, dan telah menjadikan umat Islam terpecah menjadi bergolongan-golongan, tetapi perbedaan pendapat tidak pernah diselesaikan dengan penangkapan Oleh karena itu ybs. seharusnya segera dibebaskan.


Wasalam,


Prof. Dr. Salman Harun
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri
Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar