Senin, 26 April 2010

TAFSIRAYATMETAFORIS

TAFSIR AYAT-AYAT METAFORIS

Metaforis dalam bahasa Indonesia artinya adalah kata atau kelompok kata yang digunakan untuk pengertian yang tidak sebenarnya, seperti kata-kata "tulang punggung keluarga", maksudnya tentulah bahwa orang itu penopang kehidupan keluarga itu sepenuhnya.
Kata atau kelompok kata yang digunakan untuk pengertian yang tidak sebenarnya itu dalam bahasa Arab disebut majaz. Dalam Al-Qur'an memang ada kata-kata yang disebut majaz itu, yaitu kata-kata yang pada umumnya berkaitan dengan sifat-sifat Allah dan perbuatan-Nya, seperti:
1. al-Rahman itu bertahta di atas arasy (Taha:5);
2. segala sesuatu hancur kecuali wajah-Nya (al-Qasas:88);
3. tangan Allah di atas tangan mereka (al-Fath:10)
4. datang Tuhanmu (al-Fajr:22);
5. Allah memurkai mereka (al-Fath:6).
Ayat-ayat yang mengandung majaz yang berkaitan dengan sifat dan perbuatan Allah itu termasuk dalam apa yang disebut dalam 'Ulum al-Qur'an dengan nama mutasyabihat, kebalikannya adalah ayat-ayat muhkamat. Termasuk dalam ayat-ayat mutasyabihat itu adalah ayat-ayat yang terdiri huruf-huruf potong dan ayat-ayat mengenai kiamat dan hari kemudian.
Para ulama berbeda dalam mendefinisikan term muhkamat dan mutasyabihat itu ke dalam tiga pendapat:.
1. Muhkamat adalah yang diketahui maksudnya; mutasyabihat adalah yang tidak diketahui maksudnya (diketahui hanya oleh Allah);
2. Muhkamat adalah yang mengandung hanya satu makna; mutasyabihat adalah yang mengandung banyak makna;
3. Muhkamat adalah yang berdiri sendiri tanpa penjelasan; mutasyabihat adalah yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa penjelasan.
Tiga pendapat yang berbeda mengenai definisi ayat-ayat motaforis itu merefleksikan perbedaan pendapat mereka mengenai apakah ayat-ayat mutasyabihat itu dapat diketahui maknanya atau tidak. Bagi yang menyatakan bahwa mutasyabihat itu adalah ayat-ayat yang tidak diketahui maknanya kecuali oleh Allah, tentulah mereka berpendapat bahwa ayat-ayat itu tidak bisa dipahami oleh manusia. Bagi yang menyatakan bahwa ayat-ayat mutasyabihat mengandung banyak makna dan tidak dapat berdiri sendiri tanpa penjelasan, tentulah mereka berpendapat bahwa ayat-ayat itu dapat diketahui maknanya.
Dalam khazanah pengetahuan Islam para ulama memang terbagi kepada dua kubu mengenai kemungkinan memahami ayat-ayat mutasyabihat itu. Sekaligus mereka juga terbagi dua dalam cara membaca Surat Ali 'Imran:7, yaitu ayat yang menginformasikan cara memahami ayat-ayat mutasyabihat, yang disebut ta'wil. Jadi apakah ta'wil bisa dilakukan atas ayat-ayat mutasyabihat atau tidak:
1. Ada yang berpendapat bahwa ayat-ayat itu tidak mungkin dita'wil, karena itu mereka menyikapi ayat Surat Ali 'Imran:7 itu dengan berhenti pada kata "Allah", yang berarti bahwa hanya Allahlah yang mengetahui "ta'wil" ayat-ayat mutasyabihat (metaforis) tsb.
2. Pendapat yang menyatakan bahwa ayat-ayat metaforis itu dapat dita'wil, dank arena itu mereka tidak berhenti pada kata "Allah" itu.
Dengan demikian persoalannya adalah apa yang dimaksud oleh masing-masing dengan "ta'wil":
1. Ta'wil terambil dari "awwala" yaitu mengembalikannya kepada awal, yaitu makna asalnya, yakni hakekatnya. Ini adalah sikap ulama-ulama salaf, yaitu generasi sahabat dan sesudahnya (tabi'in).
2. Ta'wil maksudnya adalah membelokkan kata dari maknanya yang jelas (rajih) kepada makna yang diperjelas (marjuh) karena adanya petunjuk yang memungkinkannya. Misalnya "tangan" Allah diubah maknanya menjadi "kekuasaan". Ini adalah sikap ulama-ulama muta'akhkhirin (belakangan).
Sikap ulama-ulama belakangan itu dikecam oleh mayorits (jumhur) ulama,
karena memutlakkan pengertiannya demikian tidak melepaskan diri dari kekhawatiran memberi sifat atau perbuatan Allah seperti sifat dan perbuatan manusia. Misalnya kata yad dalam Surat al-Fath:10, Yadullah fauqa aydihim, "Tangan Allah di atas tangan mereka", yaitu ayat yang berkenaan dengan sumpah setia kamum muslimin kepada Nabi untuk membela beliau bila situasi mengharuskan terjadinya perang. Yad secara harfiyah berarti "tangan", tetapi oleh ulama mutakhkhirin itu diganti maknanya dengan "kekuasaan", karena takut memberikan kata "tangan" kepada Allah. Penggantian itu, menurut jumhur, tadi tidak melepaskan Allah dari kesamannya dengan makhluk, karena sebagaimana makhluk punya "tangan", makhluk (manusia) itu pun punya "kekuasaan". Jumhur lebih merasa aman memaknai "tangan" itu tetap dalam arti "tangan", tetapi bagaimana wujud tangan Allah itu pasti berbeda dengan tangan makhluk dan tidak ada yang dapat mengetahuinya.
Begitulah ta'wil menurut jumhur, yaitu mengambalikan kata ke makna asalnya, bukan membelokkan makna. Ta'wil dalam arti membelokkan makna ini dapat menyeret Al-Qur'an kepada makna yang diinginkan pribadi, yang harus kita hindari.

Chatib,

Salman Harun


















Pada zaman sekarang ada orang-orang yang menafsirkan ayat atas nama ta'wil. Setelah dicermati ternyata, pertama, bahwa ayat-ayat itu bukanlah ayat-ayat metaforis yang menjadi sasaran ta'wil itu. Ayat itu memang perlu dijelaskan, tetapi medan pembahasanya adalah tafsir bukan ta'wil. Tafsir adalah menerangkan atau menyingkapkan makna.
Kedua,

Belakangan terdapat orang-orang yang menafsir ayat-ayat yang sesungguhnya tidak metaforis (mutasyabihat) seperti contoh-contoh di atas, tetapi hanya kurang jelas maknanya. Ini bukanlah medan ta'wil, sebagaimana yang mereka dakwakan, tetapi medan tafsir, yaitu menyingkapkan maknanya sampai jelas.
Contohnya adalah masalah ayat 62 Surat al-Baqarah: Sesungguhnya orang yang iman, dan orang-orang yang hadu, dan Nasara, dan Sabi'in, yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan berbuat baik, bagi mereka pahala di sisi Tuhan mereka. Mereka tidak takut dan tidak khawatir. Ayat itu memang perlu dijelaskan (ditafsir) tetapi bukan metaforis yang perlu dita'wil sesuai pengertian ta'wil di atas, apalagi ta'wil dalam arti membelokkan pengertian ayat.
Orang yang beriman adalah umat Nabi Muhamad. "Orang yang hadu" bukanlah orang Yahudi seperti sekarang ini, karena istilah "Yahudi" juga ada dalam Al-Qur'an di samping "allazina hadu", yang maksudnya adalah umat Nabi Musa. "Nasara" adalah umat Nabi Isa. "Sabi'in" adalah penganut tauhid pada zaman kekosongan nabi-nabi, yaitu antara Nabi isa dan Nabi Muhamad. Dengan demikian ayat itu menyatakan kesamaan agama Nabi-nabi pada zaman masing-masing, yaitu Islam, yang misi pokok mereka adalah penanaman tauhid, amal saleh, dan kehidupan abadi sesudah mati sesuai amal itu. Bukan kesamaan agama Islam, Yahudi, dan Kristen yang ada sekarang. Istilah Yahudi dan Kristen (Nasrani) datang belakangan.

KHUTBAH JUM'AT
Paramadina, Pondok Indah, 1 Juli 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar