Selasa, 06 Januari 2009

SEBAGIAN MAKNA HIJRAH DALAM AL-QUR’AN

SEBAGIAN MAKNA HIJRAH DALAM AL-QUR’AN
(Tafsir Surah al-Nisa’/4:97-100)
(Khutbah di Masjid Ibnu Umar, Bintaro, 2-1-9)
Oleh
Prof. Dr. H. Salman Harun


Ayat 97:
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, para malaikat bertanya, "Bagaimana kalian ini?" Mereka menjawab, "Kami dulu tertindas di bumi." Mereka (para malaikat) berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas, kalian dapat berhijrah di dalamnya?" Mareka itu tempatnya Jahannam, dan itulah tempat kembali yang paling buruk,”

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat”:

Setiap manusia, kalau begitu, pasti mati, tidak ada yang abadi di dunia. Dan yang mewafatkan itu malaikat, petugas Allah, bukan petugas manusia, karena itu pewafatan itu pasti terlaksana, karena malaikat itu tidak pernah berbuat curang. Cara pewafatannya dalam ayat lain (al-Anfal/8:50) disebutkan bahwa orang-orang yang berdosa sampai dipukuli muka dan pinggul mereka supaya ruh mereka keluar, karena ruh itu lari ke setiap sel-selnya yang paling kecil. Orang-orang yang baik-baik cukup ruhnya dipersilahkan meninggalkan jasadnya, ruh itu akan keluar dengan sukacita.

“Dalam keadaan menganiaya diri sendiri”
Yaitu berdosa, di antaranya tidak mau berhijrah. Kasusnya mengenai hijrah dari Makkah ke Madinah pada zaman Nabi saw. Setelah itu kasusnya diterapkan kepada siapa saja yang tidak mau berinisiatif mencari kebebasan, kemerdekaan, dsb., dan memperbaiki keadaan dari kondisi yang tidak/kurang baik kepada kondisi yang lebih baik lagi.

“Malaikat bertanya, "Bagaimana kalian ini?"
Pertanyaan itu isyarat bahwa yang bersangkutan tidak orang baik. Bila orang itu baik tentu malaikat akan menyapanya dengan salam.

“Mereka menjawab, ‘Kami dulu tertindas di bumi (Mekah).’
Mustadh’afin makna harafiyahnya adalah “mereka yang dibuat tak berdaya”. Setiap manusia diberi oleh Allah energi, kekuatan, dan kemampuan. Bila manusia lemah, itu tanda ada unsur luar yang membuatnya lemah, dan itu harus diatasi.

“Mereka (para malaikat) berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, kalian dapat berhijrah di dalamnya?’

Tertindas dengan demikian tidak dapat dijadikan alasan untuk lemah. Ketertindasan secara politik, ekonomi, sosial, dsb. tidak boleh didiamkan, tetapi harus diatasi. Caranya: migrasi. Bila tidak migrasi, membebaskan diri dari ketertindasan itu.

”Mereka itu tempatnya Jahannam, dan itulah tempat kembali yang paling buruk,”
Jahannam adalah neraka yang paling dalam, karena itu tentu amat dahsyat. Tidak mau migrasi atau berusaha membebaskan diri dari ketertindasan, jangan dikira akan dikasihani Allah. Justru dihukum dengan hukuman yang paling berat.

Ayat 98:
Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah),

Yang perlu diselamatkan tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan dan anak-anak. Ketertindasan baru dapat dimaafkan bila semua mereka itu memang tidak mampu bergerak karena sakit atau sangat berbahaya. Atau sudah berusaha tetapi tidak menemukan celah untuk jalan keluar.

Ayat 99:
”Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.


Ungkapan ”mudah-mudahan” mengandung arti bahwa upaya mengatasi kesulitan sangat diperlukan. Allah hanya akan menerima penyerahan bila yang bersangkutan betul-betul telah berusaha terlebih dahulu mengatasi kesulitan.

Ayat 100:
Siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat keberhasilan yang banyak dan rezki yang luas. Siapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, maka sungguh pahalanya telah ada di sisi Allah. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat keberhasilan yang banyak dan rezki yang luas.

Tempat baru akan lebih menjanjikan: dakwah akan lebih lancar dan rezeki akan lebih banyak, sebagaimana dibuktikan oleh Nabi saw. dengan hijrah ke Madinah.

Siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, maka sungguh pahalanya telah ada di sisi Allah.

Begitu ia melangkah ke luar rumahnya, pahala itu sudah diberikan Allah. Bila ia meninggal pada saat itu, ia masuk surga. Jadi, yang dilihat Allah adalah upaya, tidak hanya hasil. Begitulah kemahapengampunan dan kemahapengasihan Allah.


Salman Harun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar